Logo Bloomberg Technoz

“Akan tetapi, dalam jangka pendek, kami juga menandai respons permintaan impor minyak nabati India terhadap selisih harga antarminyak nabati, yang dapat menyebabkan penurunan harga minyak kedelai dan membebani permintaan impor minyak sawit,” papar tim analis BMI dalam laporannya, dikutip Kamis (22/8/2024).

Penurunan harga minyak kedelai jadi sentimen pemberat harga CPO./dok. BMI

Di sisi lain, permintaan dari China pada Juni berjumlah 310.000 ton dibandingkan dengan 230.000 ton dua belas bulan sebelumnya. Namun, impor kumulatif pada semester I-2024 hanya 1,2 juta ton alias turun dibandingkan dengan 1,6 juta ton pada rentang sama 2023.

“Secara keseluruhan, kondisi pasar pada pertengahan Agustus menunjukkan prospek harga minyak sawit yang menerima dukungan signifikan dari permintaan ekspor tampaknya tidak kuat,” papar mereka.

Untuk diketahui, pada Rabu (21/8/2024), harga CPO di Bursa Malaysia untuk kontrak pengiriman November ditutup di MYR 3.754/ton, melonjak 1,05% dari hari sebelumnya dan menjadi yang tertinggi dalam 2 pekan terakhir.

Harga CPO masih turun hampir 6% dalam sebulan terakhir meski kemarin melonjak. Selain itu, kenaikan harga minyak nabati pesaing juga ikut mengangkat harga CPO.

Kemarin, harga minyak kedelai di bursa Dalian (China) dan Chicago Board of Trade (Amerika Serikat/AS) naik masing-masing 0,79% dan 0,82%. Adapun, harga minyak biji bunga matahari dan rapeseed bertambah 0,17% dan 1,17%.

Saat harga minyak nabati pesaing makin mahal, maka keuntungan menggunakan CPO akan bertambah.

Produksi minyak kelapa sawit./Bloomberg-Ferley Ospina


Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno sebelumnya mengatakan eksportir RI akan cenderung mengerucutkan tujuan pengapalannya ke negara-negara yang lebih mudah dijangkau dengan permintaan yang masih tinggi, seperti India.

"Ke depannya eksportir akan memfokuskan [perdagangannya] di daerah yang reachable, yang tidak mengganggu ongkos-ongkos. Iya itu daerah Asia Selatan seperti India, Bangladesh, dan Pakistan. Lalu dari Asia Timur itu China, Jepang, Korsel [Korea Selatan]. Paling jauh nanti Timur Tengah itu ke Uni Emirat Arab sama Saudi Arabia," terangnya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), per Juni 2024, neraca perdagangan Indonesia masih mencetak surplus US$2,39 miliar, sekaligus catatan surplus selama 50 bulan beruntun. Impor masih menguat 7,58% secara tahunan pada Juni, menjadi US$18,45 miliar, sedangkan ekspor tercatat US$ 20,84 miliar.

Kinerja ekspor tertolong oleh harga komoditas andalan ekspor nonmigas yang masih fluktuatif, dengan kecenderungan meningkat pada kuartal II-2024, khususnya pada CPO dan batu bara.

Dengan kecenderungan tersebut, Benny menekankan India masih akan memiliki potensi besar bagi eksportir Indonesia, lantaran permintaan komoditas seperti batu bara dan derivatif CPO masih menjadi primadona di Negeri Bollywood.

"Batu bara masih banyak [ekspor] ke India. Lalu hasil CPO, bahan baku atau minyak gorengnya juga banyak ke India; sama ke Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka," terangnya.

Sekadar catatan, di India sendiri padahal tengah ramai kampanye hitam yang dilakukan oleh sejumlah kalangan; termasuk oleh selebritas maupun influencer asal India terhadap produk sawit Indonesia.

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pola kampanye hitam ini sangat mirip dengan yang terjadi di negara-negara Barat, di mana konten-konten yang beredar disebutnya mengandalkan hasil riset tertentu yang mengaitkan kelapa sawit dengan dampak negatif bagi kesehatan.

Selain menyebarkan konten negatif di media sosial, beberapa artis juga turut menggaungkan label "No Palm Oil" sebagai bagian dari promosi hidup sehat.

(wdh)

No more pages