Namun di balik kemudahan ini ada kerugian. Reksa dana melibatkan banyak pihak mulai dari Manajer Investasi (MI), agen, kustodian, dan lain-lain. Ini artinya biaya yang harus dibayar menjadi berlapis-lapis.
“Dengan begitu banyaknya pihak yang terlibat, biaya reksa dana sering mendapat kritik,” sebut riset itu.
Perkembangan teknologi dan cara pandang (mindset) juga mempengaruhi penurunan minat ke reksa dana. Riset Schroders menyebut, 67% generasi milenial lebih memilih berinvestasi lewat platform digital dan menjadikan komputer sebagai landasan dalam berunvestasi. Hanya 30% generasi X yang memiliki pola pikir seperti ini.
Kemudian 66% milenial memilih mengelola keuangan pribadi, termasuk investasi, dalam aplikasi yang sama. Hanya 35% generasi Baby Boomers yang punya pandangan demikian.
“Ada preferensi terhadap teknologi dan digital bagi mereka yang lahir setelah 1981. Namun, meski mereka menyukai semua hal tentang digital, kelompok ini masih mendambakan sentuhan manusia dan pendapat manusia, terutama dalam investasi yang kompleks,” lanjut riset Schroders.
Kemudian 42% milenial meyakini bahwa mereka punya pengetahuan soal investasi yang mumpuni, dan hanya 23% baby boomers yang memilikinya. Sebanyak 82% milenial mengubah portofolio investasi mereka ketika pasar sedang mengalami koreksi.
Ini berarti generasi yang lebih muda lebih aktif dalam berinvestasi, dan ingin terlibat dalam pengambilan keputusan. Perkembangan ini yang kemudian membuat minat terhadap reksa dana berkurang.
(aji/dhf)