Selain itu, besaran pungutan dana kompensasi batu bara akan berbeda pada masing-masing perusahaan, yang dilandasi oleh 3 faktor.
Pertama, rasio tarif yang ditetapkan oleh pemerintah dan berlaku sama untuk semua perusahaan. Kedua, selisih harga pasar dengan harga khusus batu bara, baik U$70 untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau U$90 untuk penjualan semen pupuk.
Sebagai informasi, pungutan dari MIP akan digunakan untuk menutup selisih harga jual batu bara dalam negeri bagi perusahaan yang melakukan kewajiban DMO. Pemerintah sendiri menetapkan harga batu bara di dalam negeri atau tidak mengacu pada harga batu bara dunia.
Ketiga, volume penjualan batu bara pada masing-masing transaksi penjualan batu bara.
“Besaran pungutan dana kompensasi tidak tergantung pada realisasi DMO, tetapi besaran dana kompensasi yang disalurkan kembali ke perusahaan sebesar selisih harga akan tergantung pada realisasi DMO,” ujarnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia/Indonesia Coal Mining Association (APBI/ICMA) meminta Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang baru dilantik awal pekan ini menggantikan Arifin Tasrif, untuk memberikan kejelasan soal MIP dalam sisa masa pemerintahannya.
Plt Direktur Eksekutif APBI/ICMA Gita Mahyarani mengatakan MIP menjadi salah satu pekerjaan rumah yang belum terlaksana.
Gita menggarisbawahi pemerintah harus memberikan penjelasan dan simulasi yang lengkap terhadap pelaksanaan MIP tersebut.
“Pastinya karena dari awal tahun wacana ini [MIP] sudah digulirkan maka kami juga berharap ada kejelasan, terkait dengan simulasinya seperti apa,” ujar Gita kepada Bloomberg Technoz, Senin (19/8/2024).
(dov/wdh)