"Spekulasi itu didorong oleh ekspektasi bahwa The Fed akan pangkas Fed fund rate sebanyak 75-100 bps pada semester dua tahun ini yang akan dilanjutkan sebanyak 100 bps pada paruh kedua tahun depan ke level 3,5-3,75%," jelas Lionel.
Menurut analis, keberlanjutan spekulasi di pasar surat utang itu akan bergantung pada hasil RDG yang akan diumumkan siang nanti. Bila Perry Warjiyo dan kolega memberikan sinyal adanya peluang penurunan BI rate pada September, reli pasar obligasi akan berlanjut.
Sebaliknya, bila BI memutuskan untuk menunggu sampai 'gong' The Fed dipukul, yang berarti penurunan BI rate baru terjadi pada Oktober atau setelahnya, "Maka akan terjadi koreksi pasar yang tajam dalam hal yield SBN, rupiah juga indeks saham," demikian prediksi analis.
Yield SBN-10Y bisa kembali melonjak ke kisaran 6,8%-7%. Rupiah juga diprediksi akan kembali tertekan ke kisaran Rp15.700-Rp15.900/US$ bila skenario terakhir yang keluar. Bahkan IHSG diperkirakan akan turun lagi ke 7.000-7.200.
Peluang dahului The Fed
Konsensus Bloomberg sejauh ini masih memperkirakan BI akan kembali menahan bunga acuan di 6,25% dalam RDG yang bakal diumumkan nanti siang.
Namun, beberapa analis menilai, tidak tertutup kemungkinan BI akan mengambil langkah tak terduga dengan memulai penurunan bunga acuan bulan ini.
"BI memiliki ruang untuk melakukan pelonggaran moneter dengan inflasi yang telah melandai dan kondisi pasar suportif terhadap rupiah sejauh ini," kata Winson Phoon, Head of Fixed Income Research Maybank, seperti dilansir Bloomberg News.
Meski September akan menjadi waktu yang lebih tepat untuk memulai siklus penurunan, dengan jadwal RDG September yang hanya berjeda sehari dengan FOMC The Fed, dimulainya langkah pivot The Fed tidak berarti memberi kejelasan bagi stabilitas mata uang.
"Tidak ada jalan aman untuk menurunkan bunga meski BI memilih menunggu. Memangkas bunga saat ini memungkinkan BI memanfaatkan kondisi pasar yang menguntungkan untuk membangun lagi ruang gerak kebijakan bunga," kata Phoon.
INDOGB, surat utang RI, masih menjadi pilihan menarik pasar karena BI dinilai memiliki lebih banyak ruang untuk melonggarkan kebijakan ketimbang bank sentral lain, menurut analis.
Di sisi lain, mayoritas pelaku pasar menilai akan terlalu berisiko bila BI mengambil langkah mendahului The Fed. BI diprediksi memilih kehati-hatian karena perlu berhitung potensi inflasi ke depan juga nilai tukar, menurut penilaian Bahana Sekuritas.
"Jika The Fed memangkas bunga dan harga minyak kembali. naik, apa yang terjadi dengan harga Pertamax dan Pertalite? Dengan tingginya harga minyak dan komoditas lain saat ini, pelonggaran oleh The Fed atau BI mungkin hanya akan memicu kembali tekanan inflasi sehingga menjebak para gubernur bank sentral dalam kesalahan langkah kebijakan yang akhirnya akan memaksa mereka bersikap hawkish," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas.
Hal itu tidak mustahil terjadi bila melihat yang terjadi di Brasil belakangan. Bank sentral Negeri Samba itu baru-baru ini mengisyaratkan akan kembali menaikkan bunga acuan hanya setahun setelah penurunan bunga acuan terakhir dilakukan pada Mei 2023.
Mata uang Brasil, real, termasuk salah satu mata uang terbaik akan tetapi sejak bank sentral di sana memangkas bunga acuan, nilai tukarnya terhadap dolar AS terdepresiasi hingga 17,5%. Real berbalik pulih memangkas nilai penurunan setelah sinyal hawkish ditebar oleh otoritas moneter negeri itu.
Beruntung bagi Brasil karena ia memiliki bekal cadangan devisa yang lebih melimpah dibanding Indonesia, yaitu sebanyak US$357 miliar yang setara 9 bulan impor. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma US$145 miliar, setara dengan 6 bulan impor.
"Kami perkirakan akan terjadi peningkatan volatilitas karena sebagian besar penguatan rupiah baru-baru ini lebih disebabkan oleh aliran dana jangka pendek dan short-covering, bukan karena faktor fundamental," kata Satria.
Asing agresif borong
Pemodal asing telah mencatat reli pembelian di surat berharga selama delapan hari beruntun di mana pada 19 Agustus lalu, nonresiden membukukan net buy Rp4,86 triliun.
Alhasil, selama Agustus saja, pemodal asing telah memborong sedikitnya US$1,4 miliar surat utang RI, setara dengan Rp21,6 triliun berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dikompilasi oleh Bloomberg.
Nilai pembelian itu mengikis nilai outflow dari pasar SBN yang sempat menyentuh US$2,7 miliar, sekitar Ro41,67 triliun hanya dalam empat bulan pertama tahun ini.
Adapun di pasar saham, greget asing membukukan 10 hari reli beli tanpa putus di mana pada 20 Agustus kemarin, asing memborong hingga Rp1,66 triliun saham dan berhasil membawa IHSG memecahkan rekor all time high baru.
Animo asing yang memuncak telah membawa rupiah menghapus semua kerugian sepanjang tahun.
Rupiah spot kemarin ditutup menguat 0,74%, terbesar di Asia, ke level Rp15.436/US$. Sebagai pengingat, rupiah tahun lalu ditutup di level Rp15.397/US$.
Lonjakan nilai rupiah kemarin telah membuatnya membukukan penguatan sebesar 5,07% sepanjang bulan ini, menjadikannya mata uang paling bagus kinerjanya di Asia bersama ringgit yang menguat 4,69% month-to-date.
(rui)