Logo Bloomberg Technoz

Alvin menilai potensi pasar penumpang maskapai saja tidak cukup dijadikan bekal untuk membangun industri kedirgantaraan domestik yang solid.

Guna mendirikan pabrik pesawat jet yang mumpuni, dia menyebut, dibutuhkan investasi besar untuk fabrikasi badan, sayap, dan komponen lainnya yang semuanya harus melalui serangkaian uji kelaikan yang sangat rumit.

“Termasuk destructive test atau tabrakan pesawat, hingga jatuh dengan ketinggian sekian. Sayapnya kelenturannya sampai dengan seberapa. Itu sampai menghancurkan untuk satu jenis pesawat, setidaknya 2—3 unit [untuk tes tersebut]. Itu butuh duit,” ujarnya.

Pesawat penumpang dirakit di pabrik manufaktur Airbus SE, Tianjin, China, Jumat (30/6/2023). ( Qilai Shen/Bloomberg)

Tak Sekadar Jualan 

Tidak hanya itu, Alvin menekankan pengembangan industri kedirgantaraan tidak hanya mencakup persoalan pemasaran pesawat yang berhasil diproduksi. Namun, pabrikan juga harus bisa menjamin ketersediaan suku cadang hingga 25—30 tahun setelah jenis pesawat yang bersangkutan tidak diproduksi lagi.

Dia mencontohkan pabrik pesawat Fokker dari Belanda yang sudah tutup pada 1996, tetapi hingga saat ini suku cadangnya masih tersedia.

Demikian halnya dengan pabrikan Boeing dari Amerika Serikat (AS) yang sudah tidak memproduksi 737 Classic sejak belasan tahun lalu, tetapi masih menyediakan suku cadangnya sampai saat ini.

“Itu semua membutuhkan modal yang tidak sedikit karena menyimpan suku cadang dan bahan-bahan untuk membuat suku cadang tersebut sangat mahal. Belum lagi, untuk menjual pesawat harus menyediakan fasilitas pelatihan, fasilitas peralatan untuk perawatan pesawatnya, dan sebagainya,” terang Alvin. 

Minim Dukungan

Seluruh prakondisi dan prasyarat pengembangan industri penerbangan yang sangat ketat tersebut, menurut Alvin, masih belum bisa dipenuhi dengan baik oleh PTDI. Apalagi, dia menilai PTDI tidak mendapatkan cukup dukungan dari pemerintah.

“Dukungan dari pemerintah hanya sekadar ucapan ‘kami dukung, kami dukung’, tetapi tidak berupa program maupun modal,” sentilnya.

Dia juga mengingatkan bahwa persaingan manufaktur pesawat terbang di tingkat dunia sudah sangat ketat.

Untuk itu, dia sangsi pesawat buatan PTDI akan dapat berkompetisi dengan jet-jet sejenis lainnya; misalnya dalam hal efisiensi bahan bakar, keandalan di landas pacu pendek, maupun kekuatan mengangkut lebih banyak dari muatan semestinya.

“Ini semua menjadi pertimbangan-pertimbangan dan sayangnya hingga hari ini PTDI sangat terseok-seok dalam membuat pesawat baru. Akan tetapi, PTDI masih mampu bertahan dengan membuat komponen pesawat-pesawat lain sesuai pesanannya,” terang Alvin.

Helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia. (Dok. PTDI)

Mengutip laporan resminya, PTDI mengeklaim kinerja keuangan positif selama tiga tahun terakhir. Laba bersih yang telah diaudit pada Tahun Buku 2021 mencapai US$1,8 juta, 2022 US$2,3 juta, dan 2023 US$1,6 juta.

PTDI berharap laba bersih ke depan dapat ditingkatkan melalui perolehan kontrak baru pesawat terbang dari Rencana Kebutuhan (Renbut) Lima Tahunan Kementerian Pertahanan periode 2025—2029, serta pelanggan lain di luar Kemenhan.

“Diharapkan PTDI terus dipercaya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dari Renbut tersebut, sehingga profitabilitas perusahaan ke depan juga dapat terus terjaga. Tentunya ini berimplikasi positif bagi pemangku kepentingan, termasuk investor dan vendor,” ujar Direktur Utama PTDI Gita Amperiawan melalui pernyataan resmi perseroan.

Adapun, pesawat produksi PTDI a.l. N219 Nurtanio, keluarga NC212, keluarga CN235, dan CN295 dari jenis pesawat fixed wing. Lalu, AS550, AS565 MBE, keluarga Superpuma, dan Bell 412EP dari jenis pesawat rotary wing atau helikopter.

(wdh)

No more pages