Logo Bloomberg Technoz

"Meski rupiah telah menguat signifikan sejak RDG Juli lalu, rupiah masih rapuh menghadapi kecemasan investor yang masih perlu memastikan kapan The Fed memulai penurunan bunga acuan. Hal lain yang juga menjadi concern adalah kebijakan fiskal mungkin belum akan berhati-hati di bawah pemerintahan baru mulai Oktober nanti," komentar ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson dalam catatannya yang dilansir pagi ini.

Gubernur BI Perry Warjiyo pada awal bulan ini juga melontarkan sinyal 'hold' meski pada Juli rupiah untuk pertama kali menguat pada tahun ini. "Kami masih perlu memastikan risiko global terkelola sebelum memutuskan penurunan bunga," kata Perry pada 2 Agustus lalu.

Penilaian serupa datang dari Citi Indonesia. Ekonom Citi Helmi Arman memprediksi, laju penurunan bunga acuan BI rate mungkin akan lebih lambat dibanding The Fed. The Fed diprediksi memangkas bunga sebanyak 50 bps masing-masing pada September dan November.

Sementara BI sepertinya akan memangkas sebanyak 25 bps mulai September. Total pengguntingan BI rate akan mencapai 125 bps hingga pertengahan 2025 nanti, kata Citi Indonesia.

"Meskipun aliran modal terlihat kembali masuk ke pasar obligasi negara, namun data global Citi menunjukkan aliran modal ke pasar negara berkembang tidak terlalu kuat sehingga masih ada risiko yang perlu diperhatikan," kata Helmi dilansir dari Bloomberg News.

Arus masuk modal asing ke Indonesia relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi dan pergerakan aset keuangan.

The Bank Indonesia headquarters in Jakarta (Rony Zakaria/Bloomberg)

Sebagaimana diketahui, keputusan BI menaikkan bunga acuan selama ini lebih didorong kebutuhan untuk menstabilkan nilai rupiah, agar selisih imbal hasil yang makin menyempit dengan AS akibat langkah The Fed yang terus mengerek bunga, bisa terjaga di level kompetitif.

Barclays, bank investasi asal Inggris, memprediksi BI akan melakukan penurunan bunga acuan hingga 75 bps tahun ini mulai September. Langkah itu akan berlanjut pada 2025 sebanyak 50 bps sehingga BI rate akan kembali ke level sebelum pandemi di 5%.

Sedangkan pada RDG bulan ini, BI masih akan mempertahankan BI rate di level 6,25%. "Pertumbuhan ekonomi dan kredit tidak menunjukkan kebutuhan untuk menurunkan bunga acuan segera sehingga memberikan ruang bagi BI untuk tetap waspada manakala ada narasi higher for longer kembali menguat secara tak terduga," kata Ekonom Barclays Brian Tan. 

Risiko harga minyak

Pergerakan yield surat utang negara awal pekan ini memperlihatkan adanya spekulasi bahwa mungkin BI akan mendahului The Fed dengan memangkas BI rate sebesar 25 bps dalam RDG bulan ini, menurut penilaian tim analis Mega Capital Sekuritas. Tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) berada di bawah level JIBOR 1 bulan yang saat ini di 6,89%.

Level yield INDOGB, surat utang negara berdenominasi rupiah, tenor 10Y dan INDON (obligasi negara dalam dolar AS) saat ini juga mencerminkan spekulasi dua kali penurunan 25 bps BI rate tahun ini. Pengguntingan bunga pertama kali diperkirakan terjadi pada Agustus atau September sebanyak 25 bps. Pemangkasan kedua sebesar 25 bps diprediksi terjadi pada November atau Desember.

"Menurut pandangan kami, skenario ini mungkin saja terjadi, tetapi ekspektasi BI memangkas terlebih dahulu dibandingkan the Fed terlalu berisiko, terutama bila ekspektasi pasar berbalik karena isu “last mile inflation” di AS," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital Sekuritas dalam catatannya.

Spekulasi itu sepertinya mengemuka melihat apa yang terjadi di pasar negara berkembang lain. Pekan lalu, bank sentral Filipina (BSP) menjadi otoritas moneter pertama di ASEAN yang memangkas bunga acuan. Namun, menurut analisis Bahana Sekuritas, BI akan memilih berhati-hati karena perlu berhitung potensi inflasi ke depan juga nilai tukar.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengumumkan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Mei 2024 di Jakarta, Rabu (22/5/2024). (Dimas Ardian/Bloomberg)

Berbeda dengan bank sentral Filipina yang telah menaikkan bunga acuan hingga 450 bps selama periode pengetatan terakhir, BI rate hanya dinaikkan 275 bps. Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi risiko harga minyak ke depan.

"Jika The Fed memangkas bunga dan harga minyak kembali. naik, apa yang terjadi dengan harga Pertamax dan Pertalite? Dengan tingginya harga minyak dan komoditas lain saat ini, pelonggaran oleh The Fed atau BI mungkin hanya akan memicu kembali tekanan inflasi sehingga menjebak para gubernur bank sentral dalam kesalahan langkah kebijakan yang akhirnya akan memaksa mereka bersikap hawkish," kata Satria Sambijantoro, Head of Research Bahana Sekuritas dan Analyst Lintang dalam catatannya pagi ini.

Hal itu tidak mustahil terjadi bila melihat yang terjadi di Brasil belakangan. Bank sentral Negeri Samba itu baru-baru ini mengisyaratkan akan kembali menaikkan bunga acuan hanya setahun setelah penurunan bunga acuan terakhir dilakukan pada Mei 2023.

Mata uang Brasil, real, termasuk salah satu mata uang terbaik akan tetapi sejak bank sentral di sana memangkas bunga acuan, nilai tukarnya terhadap dolar AS terdepresiasi hingga 17,5%. Real berbalik pulih memangkas nilai penurunan setelah sinyal hawkish ditebar oleh otoritas moneter negeri itu, jelas Satria.

Di sisi lain, Brasil, memiliki bekal cadangan devisa yang lebih melimpah dibanding Indonesia, yaitu sebanyak US$357 miliar yang setara 9 bulan impor. Bandingkan dengan Indonesia yang cuma US$145 miliar, setara dengan 6 bulan impor.

"Kami perkirakan akan terjadi peningkatan volatilitas karena sebagian besar penguatan rupiah baru-baru ini lebih disebabkan oleh aliran dana jangka pendek dan short-covering, bukan karena faktor fundamental," kata Satria.

Sebagai catatan penting, selama periode Januari-Juli, nilai ekspor kumulatif 10 komoditas unggulan RI tercatat turun 5,8% year-on-year. Ada dukungan ekspor emas namun terseret turun oleh anjloknya ekspor CPO dan batu bara yang mencapai double digit.

"Sementara itu, nilai impor komoditas unggulan tetap stabil sebesar 0% tahun ini didorong oleh impor barang industri dan elektronik namun terbebani impor otomotif," jelas ekonom.

(rui)

No more pages