Pertumbuhan belanja modal akan didukung oleh investasi substansial dari Petronas (BUMN migas Malaysia), Pertamina (Indonesia), dan PTTEP (Thailand).
Apalagi, Pemerintah Malaysia dan Indonesia telah meluncurkan putaran lelang minyak bumi berturut-turut sejak 2021 dan telah memberikan kontrak bagi hasil produksi.
Capex Petronas
Pada 2023, Malaysia membuat kemajuan signifikan di segmen hulu migas karena Petronas, bersama dengan perusahaan swasta, mencatat 21 penemuan eksplorasi dan dua keberhasilan penilaian eksplorasi.
Baik Petronas maupun perusahaan asing lain diharapkan mempertahankan tingkat belanja untuk eksplorasi yang lebih tinggi untuk pengembangan lebih lanjut dari ladang baru yang ditemukan.
Petronas telah mengalokasikan belanja modal sebesar US$13,1 miliar untuk 2024 dan diharapkan akan meningkatkan belanja modal lebih lanjut menjadi US$14,6 miliar pada 2025.
Komponen terbesar belanja modal domestik Petronas akan difokuskan pada proyek LNG terapung dekat pantai dan pengembangan proyek gas Kasawari dan proyek CCS/CCUS.
Sementara itu, capex Pertamina yang akan dianggarkan untuk 2024 diperkirakan meningkat menjadi US$8,5 miliar dari US$6,2 miliar pada tahun lalu.
“Pertamina telah menaikkan belanja modalnya untuk mendukung investasi terutama di sektor hulu. Keberhasilan eksplorasi Indonesia di wilayah lepas pantai telah memperkuat prospek kami untuk kebutuhan belanja modal bagi proyek gas alam greenfield.”
Di sisi lain, PTTEP telah mengalokasikan belanja modal sebesar US$32,6 miliar untuk lima tahun antara 2024 dan 2028.
Sekitar 48% dari total belanja modal BUMN migas Thailand itu akan dibelanjakan untuk proyek-proyek domestiknya, termasuk G1/61, G2/61, proyek gas Arthit, Kontrak 4, dan Kawasan Pengembangan Bersama Malaysia-Thailand (MTJDA).
Semua proyek ini ditujukan untuk meningkatkan produksi gas alam.
Belanja modal oleh tiga BUMN migas utama di Asean itu akan mengimbangi kemungkinan pemangkasan capex yang diantisipasi dari PetroVietnam (PVN). Pada Mei 2024, PVN mengumumkan rencananya untuk menerbitkan saham baru guna mendanai proyek perluasan dan peningkatan kilang Dung Quat senilai US$1,5 miliar.
“Kami mengharapkan potensi kenaikan belanja hilir jika PVN mampu menghasilkan dana yang cukup. Kami telah mengecualikan proyek perluasan hilir ini dari perkiraan belanja modal kami saat ini. Untuk itu, tingkat belanja modal agregat PVN diproyeksikan akan tetap relatif tidak berubah pada sekitar US$2,4—US$2,5 miliar antara 2024 dan 2025,” papar BMI.
Titik Terang
Dalam laporannya, BMI menilai Malaysia dan Indonesia akan tetap menjadi titik terang untuk investasi dalam proyek dekarbonisasi dan transisi energi di Asia Tenggara.
Petronas telah berjanji untuk mengalokasikan hingga 20% dari total belanja modalnya dari 2022 hingga 2026 untuk berinvestasi dalam proyek-proyek dekarbonisasi dan energi yang lebih bersih.
Petronas diharapkan memainkan peran penting dalam pelaksanaan proyek-proyek yang diprioritaskan di bawah fase pertama Peta Jalan Transisi Energi Nasional, yang berfokus pada enam area transisi energi: mobilitas hijau, bioenergi, hidrogen, efisiensi energi, energi terbarukan, dan pemanfaatan dan penyimpanan penangkapan karbon (CCS/CCUS).
Belanja modal untuk CCS/CCUS Petronas dapat meningkat lebih lanjut pada 2027 jika proyek gas alam Lang Lebah dilanjutkan. Perusahaan telah menguraikan rencana untuk berinvestasi dalam energi baru terbarukan (EBT) sebagai bagian dari strategi jangka panjangnya untuk mendukung transisi energi.
Sementara itu, Pertamina telah mengalokasikan US$8,3 miliar untuk proyek pengembangan EBT, termasuk panas bumi, hidrogen, kendaraan listrik, sistem penyimpanan listrik, ekonomi karbon sirkular, proyek CCS/CCUS, dll.
Ke depannya, sebagian besar belanja modal diharapkan akan diarahkan untuk pengembangan proyek CCU/CCUS melalui kemitraan dengan perusahaan asing.
Di sisi lain, PTTEP telah menyisihkan US$600 juta untuk mendiversifikasi pasokan energi dari energi terbarukan, termasuk tenaga angin lepas pantai dan hidrogen hijau.
“Kami memperkirakan belanja modal untuk energi terbarukan akan terus meningkat dalam jangka panjang untuk mendukung target emisi nol bersih,” kata BMI.
PTTEP telah menyetujui keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) untuk mengembangkan proyek CCS di ladang minyak Arthit, dan proyek CCS/CCUS lainnya di Lang Lebah berada dalam tahap pra-FID.
“Kami memperkirakan BUMN migas [di Asean] akan mempertahankan belanja modal yang lebih tinggi untuk meningkatkan produksi gas alam pada 2024 dan seterusnya. Kami memperkirakan pertumbuhan produksi gas alam sebesar 4,7% yoy antara 2024 dan 2028, menandai peningkatan tajam dari pertumbuhan rata-rata -1,4% yoy yang tercatat selama tahun 2019—2023,” papar lembaga riset tersebut.
Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Vietnam diperkirakan memimpin pertumbuhan produksi gas alam antara 2024 dan 2028.
Pertumbuhan produksi gas alam diproyeksikan akan meningkat mulai 2025 dan seterusnya karena BUMN migas bersiap untuk mengembangkan jaringan proyek negara-negara tersebut.
Asia Tenggara sendiri diperkirakan menyumbang 30% dari peningkatan produksi gas alam di kawasan Asia-Pasifik antara 2024 dan 2028.
Namun, produksi cairan agregat diproyeksikan tumbuh pada tingkat yang jauh lebih lambat sekitar 0,6% antara 2024 dan 2028 karena belanja model untuk proyek produksi minyak akan jauh lebih rendah karena kurangnya penemuan minyak, dan setiap peningkatan belanja modal akan ditujukan untuk mempertahankan produksi cairan dari ladang-ladang yang menua.
(wdh)