“Perusahaan migas besar tidak mau terlalu banyak ambil risiko, cari yang cepat. Jadi, banyak International Oil Company dan National Oil Company itu akhirnya saya bilangnya itu 'balik ke kandang'. Itu yang mereka lagi incar sekarang. Makanya banyak sekali blok-blok migas atau aset-aset yang di-divestasi, khususnya di area Asia,” ujar Moshe kepada Bloomberg Technoz, Jumat (16/8/2024).
Dengan kondisi tersebut, Moshe menilai, alokasi kapital khususnya untuk sektor migas di Asia Tenggara juga bakal makin kecil.
“Mereka [perusahaan migas] investasi untuk Asia. [Misalnya] kurang dari 3% sampai 2035. Investasi lebih dari US$1 triliun, kurang dari 3% nya untuk Asia Tenggara. Jadi sangat kecil,” ujarnya.
Kondisi investasi migas yang lesu di Indonesia, kata Moshe, pada akhirnya memengaruhi lifting dan PNBP.
Sekadar catatan, realisasi lifting migas Indonesia berada di bawah target yang ditetapkan.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melaporkan realisasi produksi siap jual atau lifting minyak berada pada level 576 million barel oil per day (MBOPD) per semester I-2024.
Angka ini berada di bawah target lifting minyak yang berada di anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2024 dan work program & budget (WP&B) 2024 masing-masing sebesar 635 MBOPD dan 589,5 MBOPD.
Sementara, realisasi salur gas semester I-2024 sebesar 5.301 million standard cubic feet per day (MMSCFD), di bawah target APBN 2024 5.785 MMSCFD.
Selain itu, terdapat kondisi seperti sulitnya perizinan dan pembebasan lahan hingga ego sektoral lintas kementerian yang membuat kondisi migas di Indonesia kurang menarik dibandingkan negara lain.
Sementara, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjelaskan penyebab penurunan PNBP dari sektor migas hingga Juli 2024 adalah kebijakan gas murah untuk industri alias program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan kebijakan yang mewajibkan harga gas paling rendah sebesar US$6/million british thermal unit (MMBtu) untuk 7 sektor industri itu membuat penerimaan negara menjadi lebih rendah.
“[Kebijakan penurunan harga di gas] itu salah satu yang membuat penerimaan kita jadi lebih rendah. Itu salah satunya yang kita tahu bahwa setahun kita berkontribusi untuk penurunan harga gas itu sekitar Rp25 triliun hingga Rp30 triliun,” ujar Dwi saat ditemui di JCC, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024).
Sebagai informasi, PNBP dari sektor minyak dan gas bumi terus mengalami penurunan. Hingga Juli 2024, PNBP dari sektor migas turun 6,4% secara tahunan menjadi Rp64,5 triliun.
(dov/wdh)