Moshe mengatakan, kebijakan tersebut sebelumnya juga pernah diterapkan, ketika migas masih sepenuhnya dipegang oleh negara melalui PT Pertamina (Persero).
“Itu insentif yang paling nonfiskal, tidak perlu keluar duit apa-apa. Cuman butuh SKK Migas bentuk tim untuk mengurusi izin dan membebaskan lahannya,” ujarnya.
Kedua, masalah ego sektoral antarkementerian. Hal ini terjadi karena masing-masing kementerian memiliki key performance indicator (KPI).
“KPI Kementerian Keuangan apa? Meningkatkan penerimaan dan itu dinilai setiap tahun. Jadi dia akan push bagaimana meningkatkan pendapatan negara setiap tahunnya,” ujarnya.
Sementara itu, lanjutnya, sektor migas merupakan investasi jangka panjang dengan kurun waktu 5–10 tahun.
Dengan demikian, kementerian koordinator harus berperan dalam mengkoordinasikan tugas dari masing-masing kementerian tersebut.
Sebelumnya, Menko Marves Luhut mengatakan terdapat sesuatu hal yang salah dari kebijakan fiskal Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait dengan industri hulu migas.
Tanpa mengelaborasi secara spesifik kebijakan fiskal yang dimaksud, Luhut mengeklaim aturan fiskal untuk industri migas menyebabkan Indonesia hanya mendapatkan investasi yang sedikit dalam sektor tersebut.
“Saya sampaikan ke Menteri Keuangan [Sri Mulyani], ada yang salah dengan kalian, 30 tahun tanpa investasi, mungkin ada yang salah dengan kebijakan. Kita harus ganti atau perbaiki kebijakan, harmonisasi peraturan,” ujar Luhut dalam agenda Supply Chain & National Capacity Summit 2024, di JCC, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2024).
Dalam paparannya, Luhut mengatakan setidaknya terdapat 11 solusi kebijakan untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, di mana dua dari solusi tersebut berhubungan dengan Kementerian Keuangan.
Solusi tersebut di antaranya adalah perbaikan rezim perpajakan migas agar proporsional dan mengecualikan tahap eksplorasi dan optimalisasi pajak tidak langsung atas kegiatan hulu migas melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 27/2017 dan PP No. 53/2017.
(dov/wdh)