Bloomberg Technoz, Jakarta - Tren dedolarisasi atau mengurangi penggunaan dolar AS untuk bertransaksi dan investasi ramai belakangan ini setelah sejumlah negara ingin membuat mata uang tandingan. Indonesia belakangan juga gencar mengajak negara Asia Tenggara untuk transaksi dengan mata uang lokal, upaya untuk mulai meninggalkan dolar AS.
Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan ada sejumlah faktor mengapa upaya dedolarisasi ini kini banyak digaungkan oleh sejumlah negara, khususnya negara-negara berkembang. Salah satunya adalah negara butuh kepastian kestabilan nilai tukar yang berdampak pada perekonomian.
Menurut dia, banyak negara yang belajar dari efek kebijakan fiskal dan moneter di AS belakangan ini. Ketergantungan tinggi terhadap dolar AS membuat volatilitas mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia, meningkat belakangan ini imbas perubahan kebijakan moneter AS.
“Ya sebenarnya dedolarisasi itu lumrah karena ya, orang sudah capek dan deg-degan kalau dolar kuat, volatilitas terlampau besar. Semua negara ingin ada stabilitas, meskipun ada volatilitas bisa berpotensi menghasilkan cuan juga,” tuturnya dikutip Jumat (14/4/2023).
Dedolarisasi juga didorong kekhawatiran bahwa nilai aset dolar AS akan menyusut karena kebijakan moneter longgar The Fed. Selama pandemi, bank sentral AS itu gencar mencetak uang lewat kebijakan quantitative easing (QE) besar-besaran.

Butuh Waktu Lama
Kendati demikian, ia belum melihat upaya dedolarisasi akan terjadi signifikan dalam waktu dekat. Ia menambahkan bahwa untuk bisa lepas dari ketergantungan dolar membutuhkan waktu yang sangat lama, bercermin pada kasus poundsterling yang digantikan oleh dolar membutuhkan waktu sampai dengan 30 tahun.
Penggunaan dolar AS kemungkinan akan berkurang secara gradual terutama didorong adanya kerja sama regional untuk perdagangan dan investasi dengan mata uang lokal.
Yang perlu diperhatikan, menurutnya, adalah bukan hanya dari sektor moneter, tetapi juga dari sektor riil yang rantai nilainya mayoritas masih menggunakan dolar AS. Tetapi upaya ini tentu berdampak positif ke Indonesia.
“Kalau di Indonesia dalam jangka panjang akan bagus dalam artian kita akan stabil tidak tergantung dari volatility USD, tidak usah khawatir tiba-tiba USD melemah,” ujarnya.
Andry menambahkan bahwa harus ada peran aktif dari dua sentral bank, tidak hanya Bank Indonesia juga tetapi bank sentral lain, ditambah dengan sosialisasi yang masif kepada masyarakat.
Sebelumnya sebanyak 11 Anggota Negara Asia Tenggara sepakat untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar Amerika Serikat. Rencana ini muncul pada pertemuan Menteri Keuangan dengan Gubernur bank sentral ASEAN beberapa waktu yang lalu.
Sebagai upaya dedolarisasi, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Maret lalu, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menyampaikan, Bank Indonesia tengah memfinalisasi perjanjian kerja sama penggunaan transaksi mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS), termasuk pembayaran lintas negara atau cross border payments dengan Korea Selatan dan India.
(krz/evs)