Menyitir pernyataan resmi Pertamina, dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini diklaim dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.
Selain itu, proyek ini diharapkan dapat memberikan efek domino seperti menarik investasi asing lainnya dan –melalui penggunaan porsi tingkat komponen dalam negeri (TKDN)– proyek itu juga dapat memberdayakan industri nasional dengan penyerapan tenaga kerja lokal.
Namun, asa seolah runtuh ketika APCI –yang sudah terlibat di dalam rencana proyek tersebut sejak 2018– tiba-tiba memutuskan hengkang sebagai mitra investor pada akhir kuartal I-2023.
Berburu Investor
Kebingungan soal siapa pengganti APCI dan keberlanjutan DME batu bara pun menyeruak. Pemerintah sempat mengeklaim terdapat 12 mitra potensial yang sedang dijajaki untuk masuk ke proyek tersebut.
Wakil Menteri I Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pahala Nugraha Mansury, seusai rapat bersama Komisi VII DPR pengujung Maret, menyebut Pertamina sudah meneken nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan 12 calon mitra yang dikatakan tertarik menggarap gasifikasi batu bara di Tanah Air.
Terbaru, berembus kabar Sedin Engineering Co. Ltd. menjadi calon kuat pengganti ACPI dalam proyek tersebut. Perusahaan China yang bergerak di bidang konstruksi dan petrokimia itu terdeteksi sudah melakukan kajian gasifikasi dari sejumlah perusahaan, termasuk PT Pupuk Indonesia (Persero), sejak 2017.
Potensi masuknya pemodal China ke proyek DME batu bara dikonfirmasi langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan awal pekan ini.
Saat melaporkan buah tangan kunjunganya ke Negeri Panda selama 4–6 April 2023, Luhut mengatakan Pemerintah Indonesia akan kembali mengawal progres komitmen investasi China ke proyek gasifikasi batu bara pada Mei.
“Kita akan coba lihat Mei ini. Saya kira masih ada tahapan yang akan lebih kita giatkan lagi. Air Products itu kan teknologi [gasifikasinya] dari China juga,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (10/4/2023).
Isu Insentif dan Nilai Keenomian
Kembali lagi pada persoalan hengkangnya APCI. Medio Maret, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan isi surat perusahaan asal Amerika Serikat itu, yang menjelaskan alasan cabutnya mereka dari proyek DME batu bara.
Dalam surat tersebut dijelaskan APCI lebih memilih untuk fokus menggarap proyek hidrogen biru (blue hydrogen) di negara mereka sendiri. Terlebih, Pemerintah AS menyediakan insentif yang menggiurkan bagi korporasi yang bersedia menggarap proyek hidrogen biru.
Hal tersebut mencuatkan pertanyaan dari berbagai kalangan di dalam negeri. Seberapa menguntungkan sebenarnya investasi gasifikasi batu bara di Indonesia? Jika APCI saja lebih memilih untuk menggarap proyek lain di negaranya sendiri karena alasan insentif, apakah mereka tidak melihat ada nilai keekonomian dari DME batu bara di Tanah Air?
Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita harus melihat kejelasan regulasi dan insentif di Indonesia yang menjadi poin penting dalam menarik minat investor masuk terlibat dalam proses gasifikasi batu bara.
Dalam kaitan itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara (APBI) Hendra Sinadia menyebut, sampai dengan saat ini, peraturan presiden (perpres) yang disiapkan khusus untuk mengatur proyek penghilliran batu bara belum konsisten.
"Hal yang terpenting di sini adalah konsistensi regulasi dan peraturan, mengingat proyek tersebut bersifat jangka panjang," katanya ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz.
Sekadar catatan, penghiliran batu bara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh oleh Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang mengajungan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Kewajiban tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 3/2020 tentang Perubahan atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hendra tidak menampik sulitnya ambisi pemerintah untuk penghiliran batu bara di Indonesia tidak terlepas dari faktor keekonomian. Sebab, tentunya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memulai proyek penghiliran komoditas tulang punggung ekspor tersebut.
"Tantangannya tentu saja faktor kelayakan ekonomi atau keekonomian, mengingat teknologi gasifikasi masih terbilang mahal. Sementara itu, pendanaan untuk proyek-proyek batu bara juga makin sulit," tuturnya.
Menurut Hendra, beberapa insentif yang diberikan kepada perusahaan pemegang PKP2B atau IUPK sebenarnya sudah cukup menarik. Misalnya dalam hal pembebasan iuran produksi atau royalti kepada perusahaan yang sudah menjalankan penghiliran batu bara.
"Namun, tantangan lain adalah untuk mendapatkan off taker atau pembeli sedia. Selain itu, harga jual DME juga sangat penting. Iya, salah satu itu tentu harga khusus. Namun, overall keekonomian itu aspeknya banyak sekali. Bukan hanya itu, sejauh ini pemerintah sudah banyak beri insentif fiskal dan nonfiskal," ujarnya.
Dengan waktu yang kian mepet untuk mengejar target penghiliran sektor mineral dan batu bara, sanggupkah Indonesia meminang investor yang rela mengucurkan uang untuk gasifikasi di dalam negeri? Pada akhirnya, akankah proyek ambisius pemerintah ini tetap berjalan?
(wdh)