Logo Bloomberg Technoz

Pola konsumsi kelas menengah di Indonesia juga semakin defensif, lebih banyak tersedot pengeluaran makanan atau kebutuhan primer. Yaitu dari sebanyak 36,5% pada tahun 2018 menjadi 41,3% tahun lalu. Peningkatan alokasi konsumsi untuk kebutuhan makanan yang menggerus belanja durable goods, menunjukkan ada penurunan daya beli kelompok ini. 

Secara umum, melihat pergerakan antar kelas sosial ekonomi di Indonesia dalam lima tahun terakhir, kesimpulan yang didapatkan adalah tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin menurun, di mana trennya bahkan telah dimulai sebelum pecah Pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian mati suri.

Penduduk miskin memang berkurang. Namun, populasi kelas menengah semakin turun telah berimbas pada lonjakan jumlah orang yang masuk kategori calon kelas menengah dan kelompok rentan. 

Apa penyebab penurunan daya beli kelas menengah ini? Kelesuan sektor manufaktur di Indonesia yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa terakhir adalah salah satu sebab utama.

"Performa sektor manufaktur yang terus menurun kita lihat sebagai pangkal masalah mengapa daya beli masyarakat ikut menurun. Kemampuan industri manufaktur menyerap tenaga kerja turun, produktivitas turun sehingga tingkat upah turun. Hal itu yang membuat kelas menengah yang bekerja di sektor tersebut jadi tidak produktif bahkan sebagian sudah berpindah ke sektor informal," jelas Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Deindustrialisasi prematur

Keterpurukan sektor manufaktur Indonesia ke zona kontraksi pada Juli lalu, pertama kali sejak era pandemi Covid-19 pada 2021, bila tidak segera diatasi akan menggelinding semakin liar menjadi pemicu dari kemerosotan yang lebih luas di perekonomian.

Sektor manufaktur, bagaimanapun merupakan sektor terbesar perekonomian dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai seperlima selama ini, meski trennya dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir terus menurun.

Bila salah satu motor utama terancam mogok, semakin sulit berharap perekonomian 270 juta jiwa ini bisa melaju kencang nan stabil.

Mengacu pada data terakhir yaitu kuartal II-2024, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB adalah sebesar 18,52%. Penurunan kontribusi sektor manufaktur telah berlangsung dalam lebih dari satu dasawarsa terakhir. Sebagai perbandingan, pada 2011 lalu, kontribusi industri ini terhadap PDB masih sebesar 23%.

Baca juga: Saat Strategi Industrialisasi Buruk, Hilirisasi Bakal Sia-Sia

Kemerosotan industri manufaktur yang sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum pandemi meletus, salah satunya telah berdampak pada stagnasi perekonomian domestik di mana Indonesia seolah terjebak di angka pertumbuhan 5%. Bahkan selama periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, rata-rata pertumbuhan ekonomi RI tak sampai 5% per tahun.

Para ekonom sudah lama memberi peringatan terhadap gejala terjadinya deindustrialisasi prematur yang dialami Indonesia. Selain kontribusi terhadap PDB yang makin menciut, proporsi tenaga kerja di sektor manufaktur terhadap seluruh tenaga kerja relatif meningkat mengindikasikan penurunan produktivitas manufaktur. Itu karena porsi tenaga kerja yang semakin banyak malah menghasilkan porsi produksi yang lebih rendah.

Aktivitas pekerja di pabrik Frisian Flag Indonesia (FFI) di Cikarang, Jawa Barat, Selasa (2/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Ada beberapa penyebab mengapa sampai terjadi kemerosotan sektor manufaktur di Indonesia, menurut analisis LPEM Universitas Indonesia. Pertama, iklim bisnis dan investasi di Indonesia masih belum efisien. “Ada bottleneck dari sisi kebijakan regulasi yang membuat iklim bisnis dan investasi Indonesia tidak efisien,” kata Riefky.

Kedua, masih banyak biaya tersembunyi alias hidden cost. Juga tumpang tindih peraturan serta ketidakpastian kebijakan serta isu-isu lain yang berisiko membengkakkan biaya investasi. Hal itu tentu membuat investor berpikir sejuta kali sebelum masuk menanamkan duit. "[semua itu] menimbulkan ketidakpastian dan membuat overrun cost dunia usaha," kata ekonom.

Ketiga, adanya ketidaksesuaian alias mismatch dari sisi tenaga kerja yakni antara kebutuhan industri dengan lulusan pendidikan di Indonesia. Ini membuat produktivitas sektor manufaktur semakin menurun.

Keempat, tingkat persaingan rendah. "Banyak sektor manufaktur kita yang tidak mampu bersaing [dengan pasar luar] padahal sudah diberikan safeguard dan proteksi. Namun, tidak ada efisiensi dan peningkatan daya asing," kata Riefky.

Ekonom menyarankan, saat ini mendesak bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan institusi, regulasi dan penegakan hukum agar iklim bisnis dan investasi Indonesia bisa kembali bersaing. "Bila iklim bisnis dan investasi membaik,  niscaya  investasi dan pertumbuhan sektor manufaktur bisa bangkit lagi," jelas Riefky.

Perluasan pasar

Pada Juli 2024, untuk pertama kali sejak era pandemi, sektor manufaktur RI terperosok ke zona kontraksi atau tumbuh negatif. Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai kejatuhan sektor manufaktur RI tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi global yang masih lemah, terfragmentasi dengan banyak barrier to entry melalui perang dagang. 

Ekonomi global, menurut Sri Mulyani, memang sangat fluktuatif. Permintaan baru produk manufaktur menurun, permintaan ekspor juga demikian.

Ilustrasi buruh pabrik garmen. (Qilai Shen/Bloomberg)

Ketergantungan RI yang besar terhadap China, menjadi risiko saat ini ketika permintaan dari negeri panda itu turun sedang pada saat yang sama Tiongkok menggenjot pasar ekspornya. Dunia pun mengalami situasi 'kebanjiran' produk China, tak terkecuali Indonesia. 

Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor barang ke China terkontraksi -4,2% di kuartal II terutama ekspor komoditas besi dan baja yang anjlok 26,9%. Pada saat yang sama, impor RI pada Juni tumbuh lebih tinggi yakni 7,58% year-on-year, terutama dipicu oleh lonjakan pengiriman barang dari Tiongkok.

Impor RI dari China mencapai US$32,44 miliar selama Semester 1-2024, naik 8,21% dibanding periode yang sama tahun lalu. Nilai impor dari China itu setara dengan 35,41% dari total impor Indonesia Impor dari China didominasi oleh tekstil dan produk tekstil (TPT) yang melonjak hingga 35,5% kuartal lalu, berandil hingga 41,3% dari total impor TPT Indonesia.

Lonjakan impor dari China itu dipengaruhi situasi di negeri tersebut di mana aktivitas industri yang berorientasi ekspor masih tinggi ketika permintaan domestik mereka lesu. Alhasil, terjadi situasi oversupply di dunia akibat barang-barang produksi China yang tak terserap pasar dalam negeri mereka, termasuk ke Indonesia.

Perbandingan ekspor RI ke China dengan negara tetangga (Dok. CORE)

"Indonesia perlu melakukan diversifikasi pasar ekspor dan mengurangi ketergantungan berlebihan pada satu mitra dagang untuk meningkatkan ketahanan ekonomi. Strategi itu dapat membantu memitigasi risiko dan meningkatkan stabilitas pertumbuhan ekspor dalam jangka panjang," kata Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE, beberapa waktu lalu.

Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet awal pekan ini menyinggung soal pelemahan aktivitas manufaktur. “Saya ingin dicari betul penyebab utamanya dan segera diantisipasi karena penurunan PMI ini saya lihat sudah terjadi sejak 4 bulan terakhir,” kata Jokowi.

Ia meminta agar para Menteri Kabinet Indonesia Maju mencermati alasan penurunan PMI manufaktur, seperti alasan dibalik permintaan domestik yang melemah apakah karena beban impor bahan baku yang tinggi karena fluktuasi rupiah.

Atau bahkan penurunan tersebut justru diakibatkan oleh serangan produk-produk impor yang masuk ke Indonesia atau biasa disebut praktik dumping.

(rui/roy)

No more pages