Bloomberg Technoz, Jakarta - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Pajak Kemenkeu) Suryo Utomo menjelaskan tujuan pemerintah memiliki wewenang membuka rekening perbankan wajib pajak.
Sebagai informasi, Kemenkeu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Beleid ini mengatur due diligence yang harus dilakukan oleh perbankan atau lembaga keuangan sebelum membuka rekening, serta mengatur anti penghindaran informasi keuangan.
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Suryo Utomo mengatakan pada pasal 30A beleid tersebut terdapat pasal yang mengatur wewenang DJP apabila terdapat praktik penipuan atas informasi keuangan yang disampaikan.
“Jadi apabila ada kesepakatan yang dilakukan untuk menghindarkan data dan informasi yang dipertukarkan kita berhak untuk valuasi seperti apa seharusnya kejadian data yang harusnya dipertukarkan,” kata Suryo saat konferensi pers APBNKita, Selasa (13/8/2024).
Suryo menegaskan, pasal tersebut bertujuan untuk meningkatkan validitas data perpajakan yang dipertukarkan baik dalam negeri maupun ke luar negeri.
Hal tersebut, kata Suryo, merupakan kesepakatan bersama di tingkat Internasional sehingga validitas data penting karena diperlukan saat pihaknya menegakan hak dan kewajiban perpajakan.
“PMK ini adalah kita mencoba untuk mengatur memberikan menjaga validitas data yang akan kita dapat dipertukarkan akan menjadi lebih valid secara kualitas dan ketepatannya,” ucap Suryo.
Sebagai informasi, Ditjen Pajak memiliki kewenangan meminta klarifikasi kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan menentukan terjadi praktik penipuan atas informasi keuangan yang disampaikan oleh entitas tersebut.
Kewenangan ini tercantum dalam PMK No 47/2024 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Aturan ini merupakan salah satu bagian dari standar penyampaian informasi keuangan dan perpajakan dari OECD.
“Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kesepakatan dan/atau praktik sebagai suatu kesepakatan dan/atau praktik dengan maksud dan tujuan untuk menghindari kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan,” bunyi pasal 30 A poin 3 beleid itu.
Aturan ini ditujukan kepada lembaga keuangan yang menjadi pelapor informasi keuangan yang terdiri dari, LJK, LJK lainnya, serta entitas lain yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kustodian, Lembaga Simpanan, Perusahaan Asuransi Tertentu, hingga Entitas Investasi.
Dengan begitu, kini Ditjen tidak hanya menerima akses informasi keuangan dari LJK, tapi bisa memaksa untuk meminta akses informasi keuangan apabila LJK tersebut tidak kooperatif memberikan akses informasi.
Selanjutnya, selain berwenang bisa menentukan praktik penipuan dari LJK yang menutup-nutupi akses informasi keuangan, Ditjen Pajak juga bisa meminta klarifikasi kepada LJK apabila terindikasi melanggar ketentuan penyampaian laporan rekening keuangan.
(azr/lav)