Dalam 5 tahun ke depan, kata Eniya, proyek PLTS yang diteken sebelum akhir tahun ini boleh mendapatkan relaksasi impor sampai dengan Juni tahun depan, tetapi operasi komersialnya harus sudah berlangsung paling lambat akhir Juni 2026.
"Jadi impornya ini hanya terbatas, yang sudah punya PPA [purchase power agreement] sampai 31 Desember, plus yang boleh impor adalah badan usaha yang punya komitmen untuk membangun pabrik surya di Indonesia," ungkap Eniya.
Adapun, perinciaan ketentuan relaksasi TKDN PLTS tersebut a.l.:
- Daftar Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan berupa PLTS ditetapkan melalui rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh menteri koordinator yang membidangi urusan koordinasi di bidang energi.
- Proyek Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan berupa PLTS menggunakan modul surya yang dirakit di dalam negeri atau modul surya yang diimpor secara utuh oleh perusahaan industri modul surya dalam negeri; dan/atau dan perusahaan industri modul surya luar negeri yang memiliki komitmen investasi untuk memproduksi modul surya di dalam negeri dan memenuhi ketentuan TKDN modul surya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian; dan
- Kesanggupan penyelesaian produksi modul surya sesuai dengan ketentuan TKDN modul surya dalam waktu paling lambat pada 31 Desember 2025.
Adapun, komitmen investasi dan kesanggupan penyelesaian produksi dibuktikan dengan surat pernyataan kesanggupan dari perusahaan industri modul surya dan disampaikan kepada Pengguna Barang dan Jasa dengan tembusan kepada Direktur Jenderal EBTKE, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan (Gatrik) Kementerian ESDM, dan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian.
"Jika terjadi pelanggaran komitmen berinvestasi, pengguna barang-barang dasar bisa memberikan sanksi administratif berupa penetapan data hitam bagi perusahaan industri modul surya yang gagal memenuhi komitmennya," tegas Eniya.
Dua Alasan
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Rachmat Kaimuddin sebelumnya menjelaskan terdapat dua alasan yang melandasi relaksasi tersebut.
Pertama, hibah luar negeri dari bank internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan lainnya memiliki peraturan pengadaan yang berbeda. Hal ini membuat Indonesia tidak bisa serta-merta menerapkan aturan TKDN PLTS.
Maka dari itu, Kementerian ESDM kemudian memutuskan bahwa TKDN untuk proyek PLTS direlaksasi, asalkan hibah luar negeri tersebut minimal mencapai 50%.
“Jadi ini harus dibuka supaya bisa sekarang. Kayak dana Just Energy Transition Partnership [JETP] segala macam jadinya lebih sulit karena banyak yang lewat situ [hibah luar negeri],” ujar Rachmat saat ditemui di Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2024).
Kedua, banyak industri dalam negeri yang belum bisa memenuhi persyaratan TKDN dari proyek PLTS. Sebelumnya Indonesia mewajibkan TKDN untuk PLTS sebesar 40% pada tahun ini dan 60% pada 2025.
Rachmat tidak menampik bahwa Indonesia secara umum memiliki industri pendukung PLTS, tetapi belum menggunakan teknologi terkini.
“Jadi hari ini ada yang baru dibikin di Kendal, di Batam, dan sebagainya. Mungkin kita belum bisa pastikan kapan mereka bisa beroperasi secara full dengan TKDN yang sesuai hari ini ya. Soalnya mereka bilang ada rencananya Desember, ada yang bilang kuartal I-2025,” ujarnya.
“Kemudian, mereka harus berhenti impornya pada Juni 2025. Jadi, enggak boleh impor lama-lama, begitu. Itu mungkin bisa dipertimbangkan untuk mendapatkan relaksasi impor modulnya atau sebagiannya,” kata Rachmat.
Untuk mendapatkan relaksasi impor, lanjutnya, investor PLTS yang bersangkutan juga harus melalui persetujuan rapat koordinasi yang dipimpin Kemenko Marves, sebagai kementerian koordinator yang membidangi sektor mineral dan energi.
"Itu pun harus mendapatkan persetujuan di rapat koordinasi [rakor] dengan Menko Marves [Luhut Binsar Pandjaitan]," ucap dia.
-- Dengan asistensi Dovana Hasiana
(wdh)