“Kita masih koordinasi dahulu dengan anggota yang menjual minyak goreng ini. Karena kami ini kan pelaku usaha juga dan ada yang harus dipertimbangkan,” ujarnya.
Selain itu Aprindo juga mempertimbangkan dampak dari rencana tersebut ke masyarakat khususnya menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Idulfitri 1444 H. Hilangnya minyak goreng dari ritel modern akan bisa membuat masyarakat kesulitan membeli komoditas kebutuhan pokok tersebut.
Lebih lanjut, Roy menyebut utang yang harus dibayarkan pemerintah ke peritel modern mencapai Rp344,15 miliar. Angka tersebut berasal dari rerata selisih harga keekonomian minyak goreng senilai Rp17.260/liter dengan harga jual yang ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak senilai Rp14.000/liter.
Sebagai catatan, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga yang berlaku pada 19—31 Januari 2022 sebagai upaya mengatasi lonjakan harga kebutuhan pokok berbahan baku minyak kelapa sawit tersebut. Kebijakan tersebut berlaku untuk seluruh jenis minyak goreng tanpa terkecuali.
“Kita lakukan penjualan minyak goreng kemasan premium yang HPP (harga pokok pembelian) bisa mencapai Rp 19.000/liter harus dijual dengan harga Rp 14.000/liter. Itu karena kita patuh regulasi dan membantu masyarakat untuk menjangkau minyak goreng,” katanya.
Roy menjelaskan, dasar hukum dari kebijakan tersebut adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Beleid tersebut kemudian tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag Nomor 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Tidak berlakunya Permendag Nomor 3/2022 dijadikan alasan oleh pemerintah untuk lari dari tanggung jawabnya. Mengacu pada beleid tersebut, pelaku usaha ritel modern seharusnya menerima pembayaran selisih harga minyak goreng dari pemerintah paling lambat 17 hari setelah proses verifikasi selesai.
“Proses (distribusinya) sudah berlangsung, sudah kita setorkan semua data penjualannya. Kita sudah penuhi semua persyaratan dan prosesnya. Peraturan berubah tetapi utang kan tetap harus dibayar, landasan hukumnya tetap ada,” ujarnya.
Roy menambahkan hal yang dilakukan oleh pemerintah itu akan mengganggu masuknya investasi ke Indonesia khususnya investasi di sektor industri ritel modern. Investor menganggap tidak adanya kepastian hukum di Indonesia akan mengancam keberlangsungan usaha mereka.
(rez/ezr)