Logo Bloomberg Technoz

Rawan Banjir

Jika La Niña terjadi pada paruh kedua 2024, perusahaan pertambangan di Asia dapat menghadapi hujan lebat dan banjir, yang berpotensi mengganggu operasi tambang dan infrastruktur logistik, terutama di Australia dan Indonesia.

Sebaliknya, kekeringan dapat mengakibatkan terbatasnya produksi tambang di Amerika Latin, terutama di Cile.

Berkaca dari Australia, kasus La Niña Triple-Dip pada 2020—2023 dan hujan lebat serta banjir yang menyertainya, fenomena alam tersebut mengganggu tambang batu bara di New South Wales dan Queensland dan mengakibatkan deklarasi keadaan kahar atau force majeure di Terminal Batu Bara Port Kembla.

Pada Januari 2022, BHP juga menurunkan outlook produksi batu bara metalurgi untuk Tahun Fiskal 2022 dari 39—44 juta menjadi 38—41 juta karena “dampak cuaca basah terkait La Niña” bersama dengan kendala lainnya, papar BMI.

Pada Juni 2024, Kantor Kepala Ekonom Australia menyoroti kemungkinan kembalinya siklus La Niña akan menimbulkan ancaman bagi pasokan batu bara.

Kondisi cuaca basah yang didorong oleh La Niña pada 2020—2023 juga mendatangkan malapetaka di Indonesia, lantaran terbukti menyebabkan banjir dan tanah longsor serta memengaruhi lokasi tambang.

Berkaca pada kejadian Februari 2023, PT Freeport Indonesia (PTFI) —anak usaha Freeport-McMoRan Inc — terpaksa menghentikan operasi di tambang Grasberg karena hujan lebat dan kerusakan infrastruktur.

Adapun, untuk Amerika Selatan, Brasil bagian selatan mengalami kondisi kering, sementara Brasil bagian utara cenderung menerima curah hujan di atas rata-rata, dengan penambang bijih besi di Brasil rentan terhadap hujan lebat dan banjir yang dipicu oleh La Niña.

“Sektor tembaga Cile juga terpapar fenomena iklim La Niña yang biasanya membawa kondisi yang lebih kering ke wilayah tersebut, yang memperburuk kekurangan air,” papar BMI.

Meskipun demikian, di Afrika Sub-Sahara, curah hujan di atas rata-rata cenderung turun di selatan dan barat, sementara Afrika Timur sering mengalami curah hujan di bawah rata-rata.

La Niña yang akan datang, pada gilirannya, diharapkan dapat meringankan beberapa kendala produksi tembaga di wilayah tersebut yang terkait dengan kondisi kekeringan yang disebabkan oleh El Niño, terutama di Zambia.

“Ketergantungan negara yang berlebihan pada tenaga air merupakan kendala utama bagi pertumbuhan sektor pertambangan domestik, dengan kekeringan parah yang menyebabkan kekurangan air dan kekurangan listrik berikutnya,” tulis lembaga tersebut.

Aktivitas di tambang Grasberg PT Freeport Indonesia./Dadang Tri/Bloomberg

Untuk diketahui, berbeda dengan El Niño, La Niña dicirikan oleh suhu permukaan laut yang lebih dingin dari biasanya di Pasifik khatulistiwa, yang disebabkan oleh menguatnya angin pasat normal yang meningkatkan naiknya air dingin. 

Fenomena ini biasanya menyebabkan curah hujan di atas rata-rata di Asia Tenggara dan Australia serta kondisi kekeringan di beberapa bagian Amerika Selatan. La Niña biasanya didefinisikan oleh Oceanic Niño Index (ONI) sebagai pendinginan berkelanjutan suhu permukaan laut di wilayah Niño 3.4 dengan nilai kurang dari -0,5 derajat Celcius.

Agar suatu peristiwa diakui secara resmi sebagai La Niña, kondisi ini harus dipertahankan setidaknya selama lima periode tiga bulan yang tumpang tindih secara berturut-turut (menurut US CPC).

Biasanya, peristiwa La Niña terjadi setiap dua hingga tujuh tahun dan biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan, meskipun terkadang dapat berlangsung selama beberapa tahun.

(wdh)

No more pages