Logo Bloomberg Technoz

Brent telah mengalami kerugian besar selama bulan lalu, dengan penurunan sebesar 12% dari nilainya sejak mencapai titik tertinggi bulanan di level US$87,4/bbl pada 4 Juli.

Menurut catatan tim periset BMI, penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh sisi permintaan, yang awalnya didorong oleh perlambatan ekonomi yang sedang berlangsung di China.

Pertumbuhan PDB riil China melambat menjadi 4,7% year on year (yoy) pada kuartal II-2024, mengecewakan ekspektasi konsensus yang meramalkan capaian 5,3%, sementara PMI terbaru menandakan awal yang lemah pada kuartal ketiga.

Isu yang menjadi perhatian khusus adalah PMI manufaktur —barometer untuk segmen ekonomi yang lebih intensif energi — yang makin terpuruk hingga mencapai 49,4 pada Juli.

“Kami mengantisipasi perlambatan lebih lanjut pada paruh kedua tahun ini dan hingga 2025, karena penurunan di sektor properti, pemotongan gaji yang agresif di sektor keuangan, teknologi, dan publik, serta tarif AS dan UE pada kendaraan listrik dan teknologi energi hijau China yang berpadu untuk melemahkan aktivitas ekonomi, yang hanya sebagian diimbangi oleh langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung yang diterapkan oleh Beijing,” papar lembaga tersebut. 

Efek AS

Selain China, faktor yang juga menjebak harga minyak dunia ke zona bearish belaakangan ini adalah isu kemerosotan pasar keuangan yang lebih luas, yang dipicu oleh kebijakan suku bunga yang agresif oleh Bank of Jepang (BoJ) dan diperparah oleh rilis data ekonomi yang buruk di AS.

Kekhawatiran akan risiko resesi ekonomi AS juga telah menempatkan greenbcak di bawah tekanan, dengan ekspektasi pertumbuhan yang lebih rendah, ekspektasi penurunan suku bunga yang meningkat, dan lonjakan yen yang memicu aksi jual tajam terhadap minyak dunia pada Agustus. 

Grafik stok minyak AS. (Sumber: Bloomberg)


“Namun, kami tidak melihat alasan yang signifikan untuk khawatir atas kondisi pasar atau makro pada tahap ini, memperkirakan pertumbuhan PDB riil global sebesar 2,5% untuk tahun 2024 dan 2025. Selain itu, dengan Brent yang mendorong ke wilayah jenuh jual, kontrak bulan depan dapat dipersiapkan untuk pembalikan,” papar BMI.

Bisa ke US$70/Barel

Lain sisi, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menilai harga Brent bisa saja terjerembap di bawah US$70/barel bila kondisi ekonomi AS makin parah.

Moshe menggarisbawahi resesi menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat bakal berkurang, termasuk untuk sektor energi. Dengan demikian, konsumsi energi akan turun dan terdapat kemungkinan oversupply.

“Jadi, konsumsi energi akan turun. Konsumsi energi akan turun, berarti ada kemungkinan oversupply. Nah, itu yang menjadi menyebabkan kenapa harga minyak drop,” ujar Moshe kepada Bloomberg Technoz.

Dilansir dari situs resmi Energy Information Agency (EIA), AS merupakan konsumen utama dari minyak –termasuk minyak mentah, semua jenis petroleum liquids, dan biofuel – yakni sebesar 20,01 juta barel per hari (bph) pada 2022. Konsumsi AS pada 2022 itu mencakup 20% total seluruh dunia.

Namun, kondisi harga minyak juga bakal tergantung apakah Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi atau OPEC+ bakal mengambil tindakan untuk mencegah penurunan lebih dalam, yakni dengan memangkas produksi minyak.

Menurut Moshe, OPEC+ juga bakal menyesuaikan volume produksi yang bakal dipangkas dengan kondisi ekonomi AS, di mana volume pemangkasan bakal makin besar bila kondisi AS makin memburuk.

Namun, keputusan dari OPEC+ tentu tidak bakal terjadi dengan cepat karena melibatkan banyak negara untuk menyetujui dan mendapatkan kesepakatan bersama ihwal besaran volume produksi yang bakal dipangkas.

Lebih lanjut, Moshe menjelaskan harga Brent yang bertengger pada level US$60/barel hingga US$70/barel masih termasuk kategori aman dan tidak akan mematikan industri minyak di AS.

“Industri minyak tidak akan mati dengan harga US$60/barel, dan kalau US$70/barel masih ada margin,” ujarnya.

Namun, Moshe menggarisbawahi pelaku industri lebih mementingkan stabilitas harga dibandingkan dengan kondisi volatilitas atau kondisi perubahan harga terjadi dengan cepat.

Apalagi, volatilitas bakal menimbulkan ketidakpastian dan membuat kalangan investor minyak menahan diri untuk melakukan ekspansi atau investasi. Sehingga, industri minyak tidak mengalami pertumbuhan.

“[Hal ini] karena oil and gas ini adalah bisnis jangka panjang, bukan bulanan, tetapi kita bicara tentang belasan tahun. Jadi yang kita lihat itu justru lebih stabil, seberapa stabil harga ini,” ujarnya.

(wdh)

No more pages