Akan tetapi, sebagai gambaran, harga spot untuk pengapalan peti kemas memang sempat meradang selama tiga bulan berturut-turut, sebelum akhirnya melandai untuk pertama kalinya pada akhir Juli.
Komposit Drewry World Container Index dari delapan jalur perdagangan utama turun 2,2% menjadi US$5.806 untuk unit berukuran 40 kaki, menghentikan kenaikan ongkos logistik selama 12 pekan.
Namun, nilai tersebut sebenarnya masih sekitar tiga kali lipat lebih mahal dari harga yang dipasang pada akhir 2023 — ketika kapal kargo mulai mengalihkan secara massal dari Laut Merah untuk menghindari serangan Houthi.
Ongkos melonjak secara tak terduga pada kuartal II-2024 karena permintaan barang dari Amerika Serikat (AS) menguat menguat dan para importir berlomba-lomba menimbun stok menjelang penerapan tarif yang lebih tinggi atas produk-produk China.
Fokus ke India
Hal yang jelas, Benny mengatakan ke depannya para eksportir akan cenderung memilih untuk fokus pada pasar-pasar yang lebih terjangkau dan tidak terlalu terpengaruh oleh lonjakan biaya pengapalan.
"Ke depannya eksportir akan memfokuskan [perdagangannya] di daerah yang reachable, yang tidak mengganggu ongkos-ongkos. Iya itu daerah Asia Selatan seperti India, Bangladesh, dan Pakistan. Lalu dari Asia Timur itu China, Jepang, Korsel [Korea Selatan]. Paling jauh nanti Timur Tengah itu ke Uni Emirat Arab sama Saudi Arabia," terangnya.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), per Juni 2024, neraca perdagangan Indonesia masih mencetak surplus US$2,39 miliar, sekaligus catatan surplus selama 50 bulan beruntun. Impor masih menguat 7,58% secara tahunan pada Juni, menjadi US$18,45 miliar, sedangkan ekspor tercatat US$ 20,84 miliar.
Kinerja ekspor tertolong oleh harga komoditas andalan ekspor nonmigas yang masih fluktuatif, dengan kecenderungan meningkat pada kuartal II-2024, khususnya pada minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan batu bara.
Dengan kecenderungan tersebut, Benny menekankan India masih akan memiliki potensi besar bagi eksportir Indonesia, lantaran permintaan komoditas seperti batu bara dan derivatif CPO masih menjadi primadona di Negeri Bollywood.
"Batu bara masih banyak [ekspor] ke India. Lalu hasil CPO, bahan baku atau minyak gorengnya juga banyak ke India; sama ke Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka," terangnya.
Sekadar catatan, di India sendiri padahal tengah ramai kampanye hitam yang dilakukan oleh sejumlah kalangan; termasuk oleh selebritas maupun influencer asal India terhadap produk sawit Indonesia.
Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pola kampanye hitam ini sangat mirip dengan yang terjadi di negara-negara Barat, di mana konten-konten yang beredar disebutnya mengandalkan hasil riset tertentu yang mengaitkan kelapa sawit dengan dampak negatif bagi kesehatan.
Selain menyebarkan konten negatif di media sosial, beberapa artis juga turut menggaungkan label "No Palm Oil" sebagai bagian dari promosi hidup sehat.
Adapun, sebelumnya International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya sebesar 5% secara tahunan atau year on year (yoy) dan meningkat tipis menjadi 5,1% yoy pada 2025.
Dalam laporan IMF disebutkan pertumbuhan ekonomi RI masih ditopang oleh permintaan domestik, alih-alih ekspor. Namun, pertumbuhan tersebut tertahan oleh penurunan harga komoditas.
"Prospek tetap positif meskipun dalam konteks global yang penuh tantangan. Pertumbuhan akan mencapai 5,0% dan 5,1% pada 2024 dan 2025," papar Dana Moneter Internasional, sebagaimana tertulis dalam laporan tersebut, dilansir pekan lalu.
Soal inflasi, IMF meramal akan berada pada kisaran target pemerintah. Selanjutnya, ekspor diprediksi tumbuh dengan laju yang lambat dan impor IMF proyeksikan akan tumbuh sejalan dengan permintaan domestik yang terjaga.
Perkembangan tersebut, menurut IMF mengarahkan defisit transaksi berjalan pada level yang moderat pada 2024—2025.
(wdh)