"Penting belanja produk lokal. Sekali lagi saya tekankan juga, penggunaan bahan baku lokal dan juga perlindungan terhadap industri dalam negeri kita, dan juga permintaan dari ekspor atau dari luar negeri melemah karena terjadi gangguan rantai pasok terhadap mitra dagang utama kita."
"Sehingga, [Indonesia] harus mencari pasar nontradisional dan mencari potensi pasar baru ekspor kita," tegasnya.
S&P Global awal bulan ini mengumumkan indeks manufaktur PMI Manufaktur Indonesia pada Juli terjerembap ke zona kontraksi di 49,3, dari posisi 50,7 bulan sebelumnya. Indeks Juli tersebut menjadi yang terendah sejak Agustus 2021, ketika perekonomian Indonesia mati suri akibat wabah Covid-19.
Selain itu, Indeks produksi (output) terperosok ke 48,8 pada Juli dibandingkan dengan 51,4 pada Juni, sedangkan pemesanan baru juga jatuh ke level terendah sejak Agustus 2021.
Untuk diketahui, indeks diukur dengan angka 50 sebagai penanda zona ekspansi. Bila di angka 50 atau di atasnya, aktivitas manufaktur masih ekspansif atau bertumbuh positif. Bila di bawah 50, artinya aktivitas turun atau terkontraksi.
Merosot Lebih Dalam
Ketua Bidang Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bobby Gafur Umar belum lama ini sudah mewanti-wanti pemerintah untuk segera melakukan langkah tegas guna menghindari risiko kemerosotan lebih lanjut terhadap industri manufaktur nasional.
"Kalau pemerintah tidak bisa mengambil keputusan segera, maka dalam waktu 2—3 bulan ke depan, industri manufaktur banyak yang kena. Kontribusi manufaktur itu termasuk yang paling besar di PDB, ini bisa di atas 10%. Jadi, kalau sekarang PMI Indeks sudah 49,3 berarti kan [manufaktur] sudah tidak tumbuh," jelas Bobby.
Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 tercatat 5,05% dibandingkan dengan kuartal II-2023. Namun, kinerja ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang tumbuh 5,11% secara year on year (yoy).
Dilihat dari sumber pertumbuhan ekonomi, BPS melaporkan industri pengolahan atau manufaktur menjadi sumber terbesar, yakni sebesar 0,79% dari pertumbuhan ekonomi kuartal II-2024 yang sebesar 5,05%.
Namun, kontribusi ini lebih rendah dari kuartal I-2024 yang memberi sumbangan 0,86% dari pertumbuhan ekonomi periode tersebut yang 5,11%. Angka kontribusinya juga melemah dari 0,98% pada kuartal II 2023 dengan pertumbuhan ekonomi saat itu, 5,17%.
Dari perspektif ekonom, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengestimasikan penurunan kinerja manufaktur Indonesia pada Juli 2024, yang terefleksi dalam capaian PMI S&P Global, masih akan terus berlanjut.
Menurutnya, PMI manufaktur Indonesia diperkirakan masih akan berada di sekitar angka 49 sampai 51 dalam 1—2 bulan ke depan, yang merupakan titik terendahnya.
"Karena pemulihan ekonomi masyarakat itu enggak terjadi di kelas menengah bawah. Saya kira ini juga sebabnya karena inflasi pangan, kemudian tidak ada penciptaan lapangan kerja yang besar," kata Tauhid.
Untuk itu, dia menilai dampak inflasi pangan dan kurangnya penciptaan lapangan kerja menjadi faktor yang menghambat pemulihan ekonomi. Walhasil, lambat laun akan terjadi penurunan daya beli masyarakat yang berujung pada sepinya pusat-pusat perbelanjaan dan menurunnya permintaan barang-barang industri.
Selain itu, produk-produk impor yang lebih murah turut menekan industri dalam negeri.
"Sehingga, tentu saja, barang-barang industri dalam negeri kita tidak bisa bersaing dengan produk luar yang masuk ke dalam [negeri], terlalu besar dan menghantam produk-produk kita dengan harga yang lebih murah. Saya kira ini runtutnya akan banyak," jelasnya.
Tauhid pun memperingatkan dampak dari penurunan nilai PMI manufaktur ini juga akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional selepas kuartal II-2024, yang diproyeksikannya mencapai di bawah 5%.
(prc/wdh)