Hasil survei yang sama menunjukkan, kinerja penjualan ritel tiga bulan yang akan datang, atau pada September diprediksi menurun. Sedang mengacu hasil survei sebelumnya, kinerja penjualan pada Agustus diperkirakan masih ada peningkatan terbantu momen peringatan HUT RI ke-79.
Sementara penjualan pada Desember masih ada potensi peningkatan didukung oleh kenaikan aktivitas masyarakat dalam peringatan Natal dan libur Tahun Baru.
Deflasi Lagi?
Kelesuan kinerja penjualan setelah berakhir musim Ramadan dan Lebaran, ditengarai sebagai buntut pelemahan daya beli masyarakat belakangan ini.
Akhirnya, demi menarik pembelian, para produsen diperkirakan akan menurunkan lagi harga jual terutama di bulan ketika tidak ada faktor pengungkit penjualan yang bisa diharapkan.
Itu terindikasi dari Indeks Ekspektasi Harga Umum pada September yang turun menjadi 134,5 dari tadinya 136,4.
Penurunan lagi harga jual oleh produsen demi mengerek penjualan, kemungkinan akan memperpanjang terjadinya deflasi, setelah tiga bulan beruntun terjadi.
Kelas Menengah 'Degradasi'
Kinerja penjualan ritel yang sulit bangkit di tengah minimnya faktor pengungkit musiman, sulit dilepaskan dari tren pelemahan daya beli masyarakat yang ditengarai makin dalam saat ini terutama di kalangan kelas menengah.
Kajian yang dilansir oleh LPEM Universitas Indonesia pada pekan lalu, menyimpulkan, ada setidaknya 8,5 juta orang kelas menengah di Indonesia yang 'terdegradasi' menjadi kelompok calon kelas menengah selama lima tahun terakhir.
Pada 2023, di Indonesia diperkirakan jumlah kelas menengah mencapai 52 juta jiwa atau 18,8% dari total populasi. Proporsinya menurun dibanding 2018 lalu yang mencapai 23% dari total penduduk di Indonesia.
Sebagai gambaran, pada 2014-2018, jumlah kelas menengah naik 21 juta jiwa dari sebanyak 39 juta jiwa menjadi 60 juta orang.
Dengan kata lain, dalam lima tahun terakhir, ada 8,5 juta kelas menengah yang turun kelas jadi calon kelas menengah atau aspiring middle class.
Kajian yang sama mendapati adanya tren penurunan daya beli kelas menengah. Pada tahun 2023, total konsumsi kelompok masyarakat calon kelas menengah (pengeluaran Rp760.929-Rp1,77 juta per orang per bulan), dan kelas menengah (pengeluaran Rp1,77 juta-Rp8,62 juta per orang per bulan), menyumbang 82,3% dari total konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Dari angka itu, konsumsi calon kelas menengah menyumbang 45,5% dari total dan kelas menengah menyumbang 36,8% konsumsi.
Berdasarkan hasil kajian, pada 2018, porsi konsumsi kelompok calon kelas menengah naik jadi 42,4% dibandingkan pada 2014 sebesar 41,8%. Angka itu makin membesar di mana pada 2023 sumbangan konsumsi calon kelas menengah mencapai 45,5%.
Pada saat yang sama, konsumsi kelas menengah yang sempat naik dari 2014 di angka 34,7% menjadi 41,9% pada 2018, angkanya turun drastis menjadi 36,8% pada 2023.
"Penurunan itu menunjukkan pengurangan konsumsi kelas menengah. yang mencemrinkan potensi penurunan daya beli mereka," kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM UI Teuku Riefky.
Pada 2023, kelas menengah mengalokasikan 41,3% dari pengeluaran mereka untuk makanan, meningkat dari sebesar 36,6% pada 2014. Sedangkan calon kelas menengah mengalokasikan 55,7% pengeluaran untuk makanan pada 2023 lalu. "Peningkatan porsi pengeluaran untuk makanan, atau penurunan konsumsi nonmakanan, dapat menjadi indikator mengkhawatirkan," jelas ekonom.
Pengeluaran nonmakanan seperti pembelian barang tahan lama, kesehatan, pendidikan dan hiburan lebih memperlihatkan daya beli dan kesejahteraan ekonomi. Pengeluaran jenis itu cenderung meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan yang bisa dibelanjakan dan merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Alhasil, dengan adanya tren kenaikan pengeluaran kelompok makanan oleh kelas menengah, bisa dilihat sebagai indikasi penurunan daya beli kelas menengah menyusul pola konsumsi yang makin defensif. "Erosi daya beli ini mengkhawatirkan karena berdampak pada konsumsi agregat yang merupakan pendorong penting pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir," jelas Riefky.
(rui/aji)