"Peralihan kepemimpinan ini juga tidak direspons positif 100% oleh pelaku usaha, karena tidak mungkin kebijakan-kebijakannya langsung mendukung pada sektor usaha," tegasnya.
Nyatanya, upaya pemerintah untuk meningkatkan imbal dagang disorot Subandi sebagai hal yang tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
"Sementara itu, produk manufaktur [buatan lokal] kurang terlalu diminati sebetulnya kalau mau jujur, karena produk kita sendiri belum mumpuni. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk melakukan upaya imbal dagang pun menurut saya itu enggak signifikan dan enggak berdampak lah terhadap pertumbuhan kegiatan perekonomian di dalam negeri," ujarnya.
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif pada kuartal II-2024. Namun, laju pertumbuhannya melambat.
Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93% secara tahunan atau year on year (yoy), melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 5,22% yoy. Konsumsi rumah tangga sudah tumbuh di bawah 5% selama 3 kuartal beruntun.
Menurut Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik Moh Edi Mahmud, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal II-2024 disebabkan oleh faktor musiman, seperti momentum Ramadan-Idulfitri yang terpecah pada kuartal I dan kuartal II.
"Tahun lalu momennya April, tahun ini sebagian besar Maret dan sedikit pada awal April. Pergeseran ini mempengaruhi pola konsumsi kuartal II, terutama makanan-minuman dan barangkali pakaian," jelasnya pada awal pekan ini.
Adapun, nilai impor Indonesia per Juni tercatat US$18,45 miliar atau melonjak 7,58% yoy dari Juni 2023, yakni US$17,15 miliar.
Namun, peningkatan nilai impor tersebut lebih didorong sektor migas, yang tercatat US$3,27 miliar atau melonjak 47,17% secara yoy. Sementara itu, nilai impor nonmigas juga naik 1,69% yoy dari US$14,93 miliar menjadi US$15,18 miliar.
Secara bulanan atau month to month (mtm), nilai impor Indonesia pada Juni turun 4,89% dari Mei 2024. Nilai impor nonmigas secara bulanan menurun 8,83% menjadi US$15,18 miliar pada Juni 2024 dari semula US$16,65 miliar pada Mei 2024.
Sementara itu, nilai impor migas naik 19,01% dari US$2,75 miliar pada Mei 2024 menjadi US$3,27 miliar pada Juni 2024.
"Turunnya nilai impor secara bulanan disebabkan nilai impor nonmigas yang menurun dengan andil penurunan 7,58%," ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.
Sekadar informasi, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya sebesar 5% yoy dan meningkat tipis menjadi 5,1% yoy pada 2025.
Dalam laporan IMF disebutkan pertumbuhan ekonomi RI masih ditopang oleh permintaan domestik. Namun, pertumbuhan tersebut tertahan oleh penurunan harga komoditas.
"Prospek tetap positif meskipun dalam konteks global yang penuh tantangan. Pertumbuhan akan mencapai 5,0% dan 5,1% pada 2024 dan 2025," papar Dana Moneter Internasional, sebagaimana tertulis dalam laporan tersebut, dilansir medio pekan ini.
Soal inflasi, IMF meramal akan berada pada kisaran target pemerintah. Selanjutnya, ekspor diprediksi tumbuh dengan laju yang lambat dan impor IMF proyeksikan akan tumbuh sejalan dengan permintaan domestik yang terjaga.
Perkembangan tersebut, menurut IMF mengarahkan defisit transaksi berjalan pada level yang moderat pada 2024—2025.
(prc/wdh)