“Apalagi saat ini masalah penjaminan proyek masih menjadi bahan negosiasi dengan Cina. Jika Pemerintah kalah lagi dalam negosiasi terkait penjaminan ini, maka rakyat lagi yang akan dirugikan,” papar dia.
Ia pun mengingatkan, bahwa pernah ada kasus proyek Hambalang yang anggarannya membengkak dari semula Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun. Kasus ini sendiri akhirnya menyeret seorang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) saat itu ke penjara.
“Hal ini karena dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang sehingga menguntungkan diri sendiri dengan melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP,” ucapnya.
Tanggung Jawab Konsorsium
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pembengkakan nilai proyek kereta cepat seharusnya menjadi tanggungjawab pihak konsorsium dan kreditur. Sesuai porsi kepemilikan saham, Konsorsium Indonesia akan menanggung 60% pembengkakan, sedangkan China menanggung 40%.
“Sebenarnya yang harus digugat tanggung jawab cost overrun itu ada pada kreditur dan konsorsium. Jadi masalah negosiasi bunga kan, satu bunganya mahal yang kedua ada agunan dari APBN dan itu yang jelas membuat beban fiskal semakin berat,” tuturnya kepada Bloomberg Technoz.
Seperti diketahui, pengerjaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung berada di bawah tanggung jawab PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). KCIC merupakan perusahaan patungan antara konsorsium BUMN, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium perusahaan perkeretaapian China, Beijing Yawan HSR Co.Ltd dengan skema business to business (B2B).
Konsorsium BUMN yang terlibat dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Perkebunan Nusantara III (Persero) atau PTPN, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT KAI (Persero). Adapun KAI ditunjuk sebagai pemimpin konsorsium BUMN.
Pemerintah bisa membantu kekurangan dana ini dengan APBN melalui skeman penyertaan Modal Negara (PMN). Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Presiden RI Joko Widodo memberikan perizinan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Proyek kereta modern ini sudah dimulai sejak tahun 2016 yang mulanya ditargetkan rampung pada 2019, namun beberapa hambatan membuat targetnya mundur ke 2023.
Mulanya proyek ini direncanakan memakan biaya US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun, tetapi perhitungan terakhir diperkirakan menjadi sekitar US$8 miliar. Artinya naik sekitar US$1,9 miliar atau setara Rp 27,09 triliun. Adapun total pinjaman yang dinegosiasikan Indonesia ke China Development Bank (CDB) sebesar US$560 juta atau Rp8,3 triliun.
(evs)