Pertama, melakukan reklamasi. Bernardus mengatakan isu pertama yang diangkat dalam kampanye dirty nikel adalah isu deforestasi.
Bernardus tidak menampik bahwa pembukaan lahan memang harus dilakukan untuk menambang bijih nikel khususnya untuk laterit.
Namun, INCO menerapkan pendekatan reklamasi progresif atau progressive reclamation, di mana reklamasi bakal dilakukan secara berkala dan bertahap.
“Ketika kita sudah melakukan penambangan di satu kompartemen, maka kita akan segera menutupnya untuk membatasi luasan lahan. Pada saat ini setelah 50 tahun lebih beroperasi, 66% luasan lahan yang sudah dibuka untuk kegiatan penambangan sudah ditutup, menyisakan 2 ribu hektare kawasan tambang aktif,” ujarnya.
Kedua, menjaga keberagaman (biodiversity). Bernardus mengatakan pihaknya berkomitmen untuk menjaga keberagaman tersebut dengan melakukan pendataan terhadap jenis-jenis pohon di wilayah konsesi.
Dengan demikian, INCO bakal kembali menanam jenis pohon tersebut pada tahap rehabilitasi.
Ketiga, penggunaan 3 pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas 365 megawatt (MW) yang bisa memanaskan 4 tungku INCO.
Menurut Bernardus, kampanye dirty nikel sangat menyoroti masalah penggunaan batu bara.
Dengan demikian, INCO juga berkomitmen untuk menjaga agar tingkat emisi karbon dari proyek yang tengah dibangun di Pomalaa, Bahodopi dan Sorowako bakal rendah.
Keempat, menyelesaikan masalah sosial. Menurut Bernardus, salah satu aspek yang juga disorot dari kampanye dirty nickel adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Vale berkomitmen bekerja sama dengan pemerintah, dengan masyarakat dalam konteks tiga pilar, untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada,” ujarnya.
(dov/ain)