Tidak heran bila pada Senin, ketika IHSG anjlok hampir 4%, harga obligasi negara melesat tajam di mana yield SBN tenor 10Y yang menjadi acuan sempat menyentuh 6,7%. Investor asing pada hari itu membukukan beli bersih SBN senilai Rp1,36 triliun.
Esok harinya, Selasa, asing kembali masuk terutama ke pasar primer di mana pada lelang surat utang negara, pemerintah menerbitkan seri baru bertenor 10Y yaitu FR0103. Permintaan melesat di kisaran Rp67 triliun dan rupiah hari itu sukses ditutup naik tipis.
Bank Indonesia menilai, penguatan rupiah belakangan ini banyak didukung oleh sentimen data pertumbuhan ekonomi yang masih baik serta cadangan devisa yang melimpah. Masih ada ruang kenaikan nilai rupiah lebih lanjut. "Tetapi kita harus tetap waspada terhadap potensi eskalasi geopolitik di Timur Tengah dan terus memantau perkembangan Pemilu AS," kata Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto.
Potensi BI rate
Kinerja rupiah sepanjang tahun ini memang mencuri perhatian. Sayangnya bukan dalam hal positif. Mata uang Indonesia itu terseok-seok sejak awal tahun. Rupiah bahkan sempat ambles sangat dalam, lebih dari 6% dan mendekati Rp16.500/US$, level terlemah sejak April 2020, pada pertengahan Juni karena tertekan sentimen prospek fiskal pemerintahan baru Indonesia mulai Oktober nanti.
Namun, perkembangan belakangan ini telah membawa nilai kerugian rupiah terkikis menjadi tinggal 3,63% year-to-date. Di kawasan Asia, pelemahan rupiah sepanjang tahun sampai data hari ini, adalah yang terburuk urutan enam setelah taka Bangladesh yang tengah dilanda kerusuhan sosial, lalu won Korsel, dolar Taiwan, baht Thailand dan peso Filipina.
Rupiah yang menguat dan bergerak lebih stabil akan memberikan ruang lebih luas pada Bank Indonesia untuk memulai pelonggaran moneter pada akhir kuartal ini atau awal kuartal IV-2024 nanti. Terutama bila Federal Reserve, bank sentral AS, sesuai prediksi akan memulai siklus pemangkasan bunga pada September.
Stabilisasi nilai tukar selama ini menjadi alasan utama mengapa BI tidak juga berani memulai penurunan bunga acuan meskipun sinyal perlambatan ekonomi, salah satunya akibat kinerja konsumsi yang melemah dan aktivitas manufaktur yang lesu, sudah berulang menyala.
Pada sisi yang lain, inflasi juga sudah begitu landai. Deflasi dalam tiga bulan berturut-turut, terakhir terjadi saat pandemi mematikan perekonomian, sebenarnya memberi ruang bank sentral untuk melonggarkan perekonomian agar pertumbuhan kembali bangkit.
BI bisa lebih percaya diri dengan sentimen pasar global terakhir sepertinya makin memperkuat skenario penurunan bunga The Fed. Ditambah lagi, amunisi untuk menstabilkan nilai rupiah juga melimpah. Posisi cadangan devisa RI pada Juli naik ke level tertinggi dalam tujuh bulan terakhir sebesar Rp145,4 miliar.
'Twin deficit' yang diwaspadai
Laporan pertumbuhan ekonomi RI pada kuartal II-2024 masih menyisakan catatan meski mencapai angka sedikit di atas estimasi pasar yaitu 5,05%, melambat dibanding capaian kuartal sebelumnya 5,11%.
Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menyusut menjadi 19,82% dibandingkan kuartal sebelumnya di 20,51%, akibat pertumbuhan output uang melambat. Begitu juga kontribusi sektor perdagangan yang turun dari 13,09% pada kuartal 1 menjadi 12,96%. Sektor tambang juga turun kontribusinya menjadi 7,09% di kuartal II-2024 dari 7,52% pada kuartal sebelumnya.
"Capaian kuartal II-2024 terlihat bagus di permukaan. Namun, analisis lebih mendalam memakai filter Hodrick-Prescott menunjukkan, overheating perekonomian RI semakin parah. Maka itu, defisit transaksi berjalan Indonesia kami prediksi bisa ke angka 0,9% terhadap PDB akhir tahun ini. Bila itu terjadi, rupiah akan tetap fluktuatif dan rentan terhadap guncangan eksternal termasuk perubahan ekspektasi pasar yang cepat," kata analis Mega Capital Lionel Priyadi.
Defisit transaksi berjalan RI pada akhir kuartal 1-2024 tercatat sebesar -0,51% dari PDB. Angkanya bisa semakin besar seiring normalisasi harga komoditas global yang berdampak pada pengecilan nilai surplus neraca dagang.
Sementara defisit fiskal tahun ini disepakati mencapai 2,7%, di mana pada Juli angka defisitnya mencapai Rp77,3 triliun atau -0,34% dari PDB.
Chief Economist Bank Permata Josua Pardede menilai defisit ganda atau twin deficit, yang makin melebar, yaitu di transaksi berjalan dan neraca fiskal, dapat mengikis daya tarik investasi di pasar surat utang domestik bahkan ketika The Fed sudah lebih dovish. Tekanan itu bisa mengancam rupiah dan akhirnya akan menguras cadangan devisa untuk menstabilkan mata uang.
-- dengan bantuan laporan Azura Yumna.
(rui/roy)