Akan tetapi, pernyataan Deputi Gubernur BoJ Shnichi Uchida kemarin seharusnya sudah menjadi sinyal tegas bahwa mode kebijakan moneter longgar kembali menyala di negeri itu. Sebaliknya, bila reaksi pasar masih terus ekstrem, sentimen hari ini mungkin akan mendorong BoJ kembali meredamnya dengan pernyataan dovish tambahan agar pasar bisa diyakinkan bahwa carry trade masih menarik.
"Pasar saham telah menyampaikan pesan yang jelas pada BoJ: perekonomian tidak dapat bertahan dengan kenaikan suku bunga yang agresif dan tindakan BoJ [yang berniat mengerek bunga] hanya akan membunuh kami [pasar saham]," komentar Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dan Analyst Drewya Cinantyan dalam catatan pada klien, kemarin.
Jepang diprediksi akan tetap terjebak dalam rezim bunga pinjaman mendekati nol. Bank sentral tidak bisa dengan mudah mengerek bunga acuan kendati saat ini negeri itu menghadapi inflasi yang mulai bangkit.
Berkaca pada Amerika, bank sentral paling berpengaruh di dunia Federal Reserve, membutuhkan waktu dua tahun untuk menghentikan sepenuhnya quantitative easing yang berlangsung sejak pecah krisis finansial 2008, dan akhirnya menaikkan bunga acuan.
Sedang bagi Jepang, waktu yang dibutuhkan akan jauh lebih lama. Bank sentral Jepang sudah lama dikenal sebagai otoritas moneter dengan kebijakan agak di luar pakem.
Sejak 2007, BoJ tidak pernah menaikkan suku bunga. Bahkan bahkan sejak 2016 memberlakukan kebijakan suku bunga negatif, di mana itu berakhir pada Maret lalu dan disusul kenaikan lagi ke 0,25% pada Juli. Perubahan itu memporakporandakan 'status quo' di pasar modal yang telah bertahan selama sedikitnya selama 25 tahun.
Efek Bagus bagi RI
Kembalinya BoJ ke mode kebijakan moneter yang lebih longgar menjadi kabar baik bagi para pelaku pasar modal di seluruh dunia.
Dana global akan kembali semarak menyerbu aset-aset berisiko yang menawarkan cuan tinggi, tak terkecuali saham-saham di Indonesia.
Perkiraan analis, akan terjadi rotasi perdagangan dari pasar saham Asia Timur -yang didominasi saham-saham teknologi- ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
"Ini akan menguntungkan Indonesia. Kami menyukai emiten dengan kinerja kuartal II-2024 yang tangguh terutama BMRI, CMRY dan MIDI. Perhatikan juga saham-saham dengan posisi asing yang ringan seperti ASII, BBNI dan ARTOjuga GOTO sebagai calon pemenang dari kebangkitan carry trade," kata Satria.
Pada pembukaan pasar Kamis pagi, IHSG dibuka melemah akan tetapi pada pukul 10:10 WIB, indeks kembali bangkit naik 0,19% di tengah penguatan rupiah untuk hari ketujuh, pertama kali kembali ke zona Rp15.900-an/US$ sejak Mei lalu.
Sedang di pasar surat utang RI, pergerakan imbal hasil cenderung bervariasi dengan tekanan lebih besar diperlihatkan oleh tenor pendek.
(rui/aji)