Logo Bloomberg Technoz

Pernyataan Deputi Gubernur BoJ Shinichi Uchida keluar setelah pertemuan dengan tiga pemangku kepentingan sektor keuangan Jepang yaitu Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan pada Selasa kemarin, pasca kejatuhan Nikkei dan TOPIX ke level rekor.

Deputi Gubernur Bank of Japan (BOJ) Shinichi Uchida. (Dok: Kiyoshi Ota/Bloomberg)

Namun, tidak ada yang tahu apakah 'penyiraman air ke bara api' itu akan efektif memadamkan atau masih menyisakan percik panas dalam waktu dekat. Selain itu, kekhawatiran terhadap meningkatnya potensi resesi AS juga masih belum hilang dari pikiran pelaku pasar yang dapat berefek buruk pada Jepang.

Beberapa analis menilai, pernyataan dovish Uchida itu bisa memberi stabilitas pada pasar saham saat ini akan tetapi itu tidak dapat mengalihkan fokus pemodal dari data ekonomi AS dan kekhawatiran resesi yang menjadi penggerak terbesar pasar akhir-akhir ini, menurut Head of Currency Strategist Saxo Market Charu Chanana, dilansir dari Bloomberg.

"Melakukan carry trade tetap sulit dalam lingkungan volatilitas yang lebih tinggi dan kekhawatiran terhadap ekonomi AS. Yen Jepang dapat bertahan di kisaran ¥145 saat ini akan tetapi risk-reward masih condong ke arah penguatan lebih lanjut seiring dengan potensi The Fed memangkas bunga acuan," katanya.

Sudah Diprediksi

Situasi yang dihadapi oleh BoJ memang tidak mudah. Selama dua tahun terakhir, bank sentral yang dipimpin oleh Kazuo Ueda itu disalahkan atas depresiasi yen hingga 40% yang oleh para politisi dikaitkan dengan keterlambatan BoJ dalam menormalisasi kebijakan moneter. 

Namun, ketika akhirnya BoJ menaikkan bunga, sehingga yen bisa menguat, tindakan itu memicu aksi jual ekuitas yang ekstrem, terburuk sejak 1987. Saham-saham bank besar di Jepang dilepas besar-besaran.

Berbaliknya sikap BoJ kini menjadi dovish bisa dipahami dan sudah bisa ditebak bila menilik efek kejatuhan pasar saham pada para investor di negeri itu dan prospek perekonomian Jepang ke depan.

Kejatuhan indeks Nikkei maupun Topix telah menghapus keuntungan sepanjang tahun ini hanya dalam sepekan. Sementara di negeri itu, seperti data BoJ, investor domestik Negeri Sakura memiliki 70% saham dalam portofolionya. Pada akhir 2023 lalu, nilai aset rumah tangga Jepang dalam bentuk ekuitas naik 29% mencapai US$1,8 triliun terbantu kenaikan harga saham.

"Penurunan nilai yen yang ekstrem terhadap dolar AS dan aksi jual saham di bursa di sana bisa berdampak negatif terhadap kekayaan konsumen dan para eksportir," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam catatan hari Selasa.

Kejatuhan harga saham akan secara langsung menyeret penurunan aset rumah tangga di Jepang dan dapat berimbas pada perekonomian. "Perekonomian Jepang jelas sekali tidak sekuat AS. Tekanan pasar tidak terlalu parah selama siklus pengetatan dilakukan The Fed [bank sentral AS] pada 2022 dibanding BoJ pada 2024," jelas Satria.

Satria memprediksi BoJ akan memundurkan rencana kenaikan suku bunga berikutnya pada Desember atau Januari 2025 dari perkiraan sebelumnya pada September atau Oktober. 

Tekanan Masih Ada

Sebelum keluar pernyataan dovish BoJ hari ini, para pelaku pasar menyatakan masih akan melanjutkan pelepasan carry trade. "Kami belum selesai sama sekali. Pemutusan carry trade setidaknya dalam komunitas investasi spekulatif, sudah sekitar 50%-60% selesai," kata Arindam Sandilya, Head of Global Currency Strategist JP Morgan Chaese&Co dalam wawancara di Bloomberg TV, kemarin.

Carry trade, tindakan yang mengacu pada peminjaman dana dalam yen Jepang di mana dana itu digunakan untuk membeli aset berimbal hasil lebih tinggi di tempat lain, telah lama populer di kalangan investor dunia karena volatilitas yen lebih rendah dan trader memperkirakan suku bunga pinjaman Jepang akan tetap di titik terendah.

Namun, apresiasi yen terhadap dolar AS hingga 11% sepanjang Juli lalu telah mengubah banyak perdagangan itu menjadi kerugian. Serbuan menutup posisi short yen telah mengguncang pasar negara maju dan berkembang yang dulu menjadi tujuan investor memburu untung lebih tinggi. Salah satu korban terparah dalam drama Senin lalu adalah peso Meksiko yang anjlok hampir 7% bulan lalu, merugi terbesar di antara mata uang dunia yang dilacak oleh Bloomberg

Menurut analis, pemulihan dalam carry trade ke level sebelum reli penguatan yen tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat karena kerusakan teknis yang ditimbulkan pada portfolio dari pergerakan singkat nan tajam tidak mudah diatasi, kata Sandilya. 

"Hasil yang baik dari stabilisasi pasar di sekitar level saat ini, mungkin pemulihan yang dangkal. Namun, dalam banyak kasus, Anda cenderung mendapati kelanjutan pergerakan meski dengan kecepatan lebih rendah daripada sebelumnya," jelasnya.

Ekonom Bloomberg Economics untuk Jepang Taro Kimura menyatakan, transaksi yen terlihat mencatat penurunan paling cepat sejak mata uang itu melonjak pada 2007, setelah dimulainya krisis subprime mortgage AS.

"Kami telah waspada terhadap risiko pembalikan tajam dalam keuntungan mata uang itu sejak Maret dan sekarang hal itu mungkin terjadi. Permodelan kami menunjukkan bahwa ketakutan akan perlambatan ekonomi AS adalah pendorong utama, bukan kenaikan bunga BoJ baru-baru ini. Pergerakan yen dari sini mungkin sebagian besar bergantung pada bagaimana ekonomi AS berkembang dan bagaimana The Fed bereaksi," kata Kimura.

(rui/aji)

No more pages