Jika tren penurunan IHSG pada 2019 dipicu oleh pandemi Covid-19, maka penurunan kali ini lantaran adanya kekhawatiran krisis imbas potensi melemahnya perekonomian Amerika Serikat (AS) dan China.
"Dua tema utama yang memicu tren bearish sejak pekan lalu, melemahnya [ekonomi] AS dan ketidakseimbangan kurs mata uang asing."
Alvin menyarankan investor untuk melupakan sejenak fluktuasi dolar AS, lupakan juga bond-proxy stocks.
"Investor saat ini melakukan aksi jual, dan yang diuntungkan hanyalah obligasi dan cash. Profit taking dan tambah cash hingga 100%," jelas Alvin.
Apa yang Terjadi di AS
Direktur Reliance Sekuritas Reza Priyambada menjelaskan, apa yang terjadi di bursa saham Asia belakangan ini didorong oleh menurunnya ekspektasi soft landing pada ekonomi AS setelah data non-farm payrolls melanjutkan pertumbuhan yang lebih lambat.
Pada Juli 2024, hanya terdapat penambahan sebesar 114.000 tenaga kerja baru. Angka ini di bawah ekspektasi pasar sebesar 175.000.
Sementara, unemployment rate mengalami kenaikan ke level 4.3%, yang mana ini berada di atas proyeksi The Fed sebesar 4% di tahun ini. Penurunan pada ekonomi US juga tercermin pada data S&P manufacturing PMI yang turun ke level kontraksi sebesar 49.6 pada Juli 2024.
"Potensi resesi pada ekonomi AS meningkatkan ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada September 2024 meningkat menjadi 50bps. Hal ini dapat memicu pelemahan lanjutan pada Dollar Index," jelas Reza.
Sedangkan dari domestik, BPS melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan dan 3,79% secara kuartalan.
Laju pertumbuhan ekonomi cenderung terbatas didorong konsumsi rumah tangga cenderung tumbuh stagnan sebesar 4.93% secara tahunan, hal ini juga tercermin dari Indonesia yang mencatatkan deflasi selama 3 bulan berturut-turut.
Sementara, kontribusi pertumbuhan PDB terbesar dari sisi lapangan usaha, yakni industri pengolahan tumbuh terbatas sebesar 4,13% secara tahunan dan 0.30% secara kuartalan. Hal ini sejalan dengan data S&P manufacturing PMI indonesia yang mencatatkan perlambatan dan pada Juli 2024 masuk ke level kontraksi sebesar 49,3 didorong penurunan permintaan dan output.
Setali tiga uang, Alvin menilai pertumbuhan ekonomi global memburuk. Pada saat yang sama, perekonomian Indonesia tidak memiliki katalis.
IHSG pun diperdagangkan pada level resistance secara teknikal. "Cash adalah alpha saat tidak bisa mencetak uang dari IHSG," imbuh Alvin.
Hal yang Perlu Diwaspadai
Reza melihat, secara keseluruhan ada sejumlah potensi risiko di pasar saat ini. Pertama, potensi peralihan investor ke aset safe haven di tengah kekhawatiran resesi US dan masih melambatnya ekonomi China dapat memicu outflow.
Kedua, kekhawatiran resesi dapat meningkatkan potensi pelemahan permintaan pada komoditas. Ketiga, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat.
Keempat, Meningkatnya kekhawatiran geopolitik setelah terbunuhnya pimpinan Hamas, Ismail Haniyeh. Hal ini juga turut meningkatkan ketegangan antara Presiden Joe Biden dan Benjamin Netanyahu.
(red/dba)