Hal itu, kata dia, menempatkan ekonomi global di jalur yang tidak seharusnya dalam menghadapi meningkatnya ketakutan jangka pendek atas resesi dan krisis kredit yang disebabkan oleh krisis perbankan.
“Anda perlu membangun kembali penyangga fiskal, karena Anda harus siap menghadapi kerugian, baik ekonomi maupun keuangan,” kata Gaspar.
Di luar risiko jangka pendek tersebut, negara-negara juga perlu memiliki fiskal yang kuat untuk menghadapi tantangan jangka panjang seperti perubahan iklim, transformasi energi hijau, dan tren demografis yang memburuk.
Terlepas dari peringatan soal utang global itu, Gaspar mengatakan IMF masih percaya bahwa pembuat kebijakan fiskal telah mengambil pendekatan yang tepat pada tahun 2020 dengan membelanjakan dana mereka dalam merespons penyebaran Covid-19.
“Itu sangat penting dalam menghadapi pandemi dan penutupan yang hebat,” katanya. "Belanja besar adalah hal yang benar.”
Langkah-langkah yang dapat diambil oleh negara-negara untuk mempersempit kesenjangan fiskal dengan cepat di antaranya adalah membatasi subsidi energi, kata Deputi Direktur Departemen Fiskal IMF Paolo Mauro kepada wartawan, Rabu.
“Jadikan subsidi itu lebih terarah, hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan – dan itu akan dengan cepat mengurangi defisit dan lebih efisien,” kata Mauro.
AS dan China
AS dan China - dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia - memicu hampir keseluruhan dari prediksi kenaikan utang global, kata IMF.
Rasio utang AS terhadap PDB akan meningkat menjadi 136,2% pada tahun 2028 dari 121,7% pada tahun 2022. Sementara utang China diperkirakan akan melonjak menjadi 104,9% dari PDB dalam lima tahun ke depan dari 77,1% pada tahun 2022 karena pengeluaran meningkat dan ekonomi tumbuh kurang dari yang diproyeksikan sebelum pandemi.
Beban utang Brasil, Jepang, Afrika Selatan, Turki, dan Inggris juga diperkirakan akan meningkat lebih dari 5% dari PDB, kata Gaspar.
Tanpa beban utang yang meningkat di AS dan China, dunia akan berada di jalur pengurangan utang yang moderat.
Sementara banyak negara ekonomi maju cenderung mampu membayar kenaikan biaya utang, hal yang sama tidak berlaku di negara-negara berpenghasilan rendah. Menurut IMF, sekitar 60% di antaranya sekarang berada dalam kesulitan utang.
Alih-alih pengurangan beban utang dan biaya pembayaran utang selama dua tahun terakhir, banyak negara miskin justru mengalami sebaliknya.
Hal ini sebagian besar merupakan dampak dari kenaikan suku bunga dan dampak dolar yang lebih kuat.
IMF dan Bank Dunia telah menyerukan kepada para kreditur termasuk China, yang kini menjadi kreditur bilateral terbesar bagi negara-negara pasar berkembang, untuk segera menyetujui restrukturisasi bagi negara-negara miskin yang membutuhkannya.
(bbn)