Pada akhir 2023, 108 negara diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan menengah, masing-masing dengan PDB per kapita tahunan dalam kisaran US$1.136 hingga $13.845. Negara-negara ini adalah rumah bagi enam miliar orang—75% dari populasi global—dan dua dari setiap tiga orang hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Negara-negara tersebut menghasilkan lebih dari 40% PDB global dan lebih dari 60% emisi karbon. Mereka menghadapi tantangan yang jauh lebih besar daripada pendahulu mereka dalam keluar dari perangkap pendapatan menengah, yakni populasi yang menua dengan cepat, meningkatnya proteksionisme di negara-negara maju, dan kebutuhan untuk mempercepat transisi energi.
Indermit Gill mengatakan perjuangan untuk kemakmuran ekonomi global sebagian besar akan dimenangkan atau dikalahkan di negara-negara berpendapatan menengah.
“Tetapi terlalu banyak dari negara-negara ini yang mengandalkan strategi kuno untuk menjadi negara maju. Mereka terlalu lama bergantung pada investasi—atau mereka beralih terlalu dini ke inovasi," kata dia.
Maka itu, lanjut dia, diperlukan pendekatan baru, yakni: Pertama, fokus pada investasi, lalu tambahkan penekanan pada inovasi teknologi baru dari luar negeri. Kemudian, terapkan strategi bercabang tiga yang menyeimbangkan investasi, infusi, dan inovasi.
"Dengan meningkatnya tekanan demografi, ekologi, dan geopolitik, tidak ada ruang untuk kesalahan," tutur dia.
Laporan tersebut mengusulkan “strategi 3i” bagi negara-negara untuk mencapai status berpendapatan tinggi. Bergantung pada tahap pembangunan mereka, semua negara perlu menerapkan campuran kebijakan yang berurutan dan semakin canggih.
Negara-negara berpendapatan rendah dapat berfokus hanya pada kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan investasi. Namun demikian, mereka mencapai status berpendapatan menengah ke bawah, mereka perlu mengubah arah dan memperluas campuran kebijakan investasi dan infusi, yang terdiri dari adopsi teknologi dari luar negeri dan menyebarkannya ke seluruh perekonomian.
Pada tingkat berpendapatan menengah ke atas, negara-negara harus mengubah arah lagi ke fase terakhir, yakni investasi, infusi, dan inovasi. Dalam fase inovasi, negara-negara tidak lagi sekadar meminjam ide dari batas-batas teknologi global—mereka mendorong batas-batas tersebut.
“Jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi negara-negara mungkin dapat membuat kemajuan bahkan dalam kondisi yang penuh tantangan saat ini,” kata Somik V. Lall, Direktur Laporan Pembangunan Dunia 2024.
“Keberhasilan akan bergantung pada seberapa baik masyarakat menyeimbangkan kekuatan penciptaan, pelestarian, dan penghancuran. Negara-negara yang mencoba menyelamatkan warga negaranya dari kesulitan yang terkait dengan reformasi dan keterbukaan akan kehilangan keuntungan yang berasal dari pertumbuhan yang berkelanjutan.”
Korea Selatan
Korea Selatan adalah contoh menonjol dalam ketiga fase strategi 3i, kata laporan tersebut. Pada tahun 1960, pendapatan per kapitanya hanya US$1.200. Pada akhir tahun 2023, angka itu telah naik menjadi US$33.000.
Korea Selatan memulai dengan campuran kebijakan sederhana untuk meningkatkan investasi publik dan mendorong investasi swasta. Hal itu berubah pada tahun 1970-an menjadi kebijakan industri yang mendorong perusahaan domestik untuk mengadopsi teknologi asing dan metode produksi yang lebih canggih.
Perusahaan-perusahaan Korea menanggapi. Samsung, yang dulunya pembuat mi, mulai memproduksi perangkat TV untuk pasar domestik dan regional. Untuk melakukannya, Samsung melisensikan teknologi dari perusahaan Jepang—Sanyo dan NEC.
Keberhasilan Samsung mendorong permintaan akan teknisi, manajer, dan profesional terampil lainnya. Pemerintah Korea Selatan pun menanggapinya.
Kementerian Pendidikan menetapkan target—dan menambah anggaran—bagi universitas negeri untuk membantu mengembangkan keahlian baru yang dibutuhkan oleh perusahaan domestik. Kini, Samsung adalah inovator global dengan caranya sendiri—salah satu dari dua produsen ponsel pintar terbesar di dunia.
Negara lain mengikuti jalur serupa—termasuk Polandia dan Cile. Polandia berfokus pada peningkatan produktivitas dengan teknologi yang diinfus dari Eropa Barat.
Cile mendorong transfer teknologi dari luar negeri—dan menggunakannya untuk mendorong inovasi domestik. Salah satu keberhasilan terbesarnya melibatkan adaptasi teknologi budidaya salmon Norwegia dengan kondisi lokal, menjadikan Cile sebagai pengekspor salmon teratas.
(lav)