Bloomberg Technoz, Jakarta - Harga beberapa aset digital kripto berjatuhan pada Senin (5/8/2024), dengan Bitcoin anjlok pada level 11,3% ke posisi terendah US$53.863,09 (sekitar Rp872,58 juta).
Mengawali perdagangan di awal pekan harga Bitcoin telah meluncur di bawah Rp1 miliar tepatnya pada posisi 53.863,09. Berjalannya waktu posisi jual makin besar hingga menyebabkan penurunan hingga 11,3% dibandingkan pergerakan satu hari sebelumnya, Minggu (4/8/2024).
Hingga pukul 9.20 waktu Indonesia Bitcoin bergerak di kisaran US$53.863,09–US$53.996,49 atau nyaris drop 20% dibandingkan posisinya minggu sebelumnya.
Drop harga Bitcoin juga terjadi efek penghindaran risiko melanda pasar keuangan yang masih berlanjut. Tingkat pengangguran Amerika Serikat (AS) yang naik untuk bulan keempat menjadi 4,3% turut mendorong koreksi cukup dalam aset kripto.
Pasar juga mengkhawatirkan sinyal resesi dari negara Adidaya tersebut, dengan altcoin seperti Ethereum anjlok 23% ke US$2.241.
Pergerakan aset kripto lain mayoritas turun drastis, seperti Solana -12,7% ke US$126,96, XRP -15,8% ke US$046, Avalanche -18,1% ke US$18,6, Shiba Uno -17% ke US$0,000011, Polygon Matic -18,5% ke US$0,37.
Bitcoin juga lebih terpapar langsung pada naik turunnya pemilihan presiden AS, kata para analis, mengingat posisinya yang potensial sebagai aset haven dan sebagai bagian dari janji utama untuk kampanye kandidat Partai Republik Donald Trump.
Sinyal penurunan suku bunga oleh Bank Sentral AS (The Fed) pada pekan lalu turut menekan aset kripto, dengan pasar dapat memperkirakan penurunan pasar yang lebih luas sebelum hal itu terjadi.
"Pasar sedang memasuki fase risk-off di mana uang mencari tempat yang aman. Bitcoin sekarang menjadi pertimbangan yang lebih utama dalam kategori ini daripada sebelumnya, seiring dengan semakin matangnya lanskap ETF dan peraturan," jelas Youwei Yang, kepala ekonom di BIT Mining dilansir dari Bloomberg News, Senin.
Meski demikian sinyal terkuat pada posisi terakhir pun tidak bisa menjadi acuan. "Secara keseluruhan, likuiditas uang panas pasar belum cukup untuk menopang pasar bullish yang besar, yang mungkin akan diikuti oleh akumulasi penurunan suku bunga," Yang menambahkan.
-Dengan asistensi Emily Nicolle dari Bloomberg News.
(wep)