Mengacu pada laporan Bank Indonesia terakhir, terlihat bahwa kelas menengah di Indonesia baik kelas menengah bawah (aspiring middle class) maupun menengah atas (middle class), terlihat semakin banyak yang mengurangi porsi tabungan mereka, sedang pada saat yang sama pengeluaran konsumsi dan cicilan utang meningkat. Dengan kata lain, pendapatan yang dimiliki kelas menengah di Indonesia ditengarai semakin banyak tersedot untuk biaya sehari-hari yang menggerus alokasi untuk tabungan.
Kelompok dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta, mencatat penurunan alokasi pendapatan untuk tabungan pada Juni, menjadi sebesar 16,5%. Pada saat yang sama, alokasi pengeluaran untuk konsumsi naik jadi 75,8% dan untuk cicilan utang juga naik menjadi 7,7%.
Adapun kelompok konsumen dengan pengeluaran Rp3,1 juta hingga Rp5 juta, mencatat penurunan alokasi tabungan menjadi 16,2%-17,3%, disusul penurunan pengeluaran cicilan menjadi 10,7%-10,1%. Pada saat yang sama proporsi pengeluaran untuk konsumsi meningkat menjadi 72,6%-73,1%.
Kelas menengah di Indonesia, bila mengacu pada kategorisasi yang pernah dibuat oleh Bank Dunia adalah kalangan masyarakat dengan pengeluaran antara 3,5 kali sampai 17 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan.
Dengan memakai ukuran Garis Kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik pada 2023 sebesar Rp507.286 per bulan per kapita, maka kelompok kelas menengah di Indonesia saat ini adalah mereka yang memiliki pengeluaran mulai Rp1,77 juta hingga Rp8,62 juta per orang per bulan.
Sementara calon kelas menengah adalah orang dengan pengeluaran 1,5 kali sampai 3,5 kali lipat garis kemiskinan per kapita per bulan, atau antara Rp760.929 hingga Rp1,77 juta per orang per bulan. Kelompok ini sudah tidak lagi masuk dalam kategori miskin atau rentan akan tetapi kondisi finansialnya belum cukup aman sehingga bisa dengan mudah 'turun kelas' ketika ada guncangan dalam perekonomian yang mengerosi daya beli mereka. Misalnya, ketika terjadi krisis akibat pandemi Covid-19 atau krisis ekonomi lain.
Analisis BPS terhadap data SUSENAS 2021 mencatat, 69 dari 100 penduduk Indonesia merupakan penduduk berpendapatan menengah ke bawah. Selain dicirikan oleh pendapatan yang belum menapak ke middle class (menengah atas), kelompok ini juga masih kesulitan menikmati akses pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial dan jaminan pekerjaan.
"Sebanyak 68% kepala rumah tangga pada kelas menengah bawah adalah pekerja informal," tulis Dhiar N. Larasati dan Ranu Yulianto dalam publikasi riset BPS akhir tahun lalu.
Sektor informal cenderung tidak memiliki perlindungan sosial memadai dan tingkat upah serta kesejahteraan yang lebih rendah ketimbang sektor formal. Dalam lanskap itu, kualitas hidup masyarakat kelas menengah bawah di Indonesia sejatinya masih rendah kendati dari sisi pendapatan sudah terlepas dari jerat kemiskinan.
Lapangan Kerja Sempit
Laporan BI juga mencatat, kelas menengah di Indonesia berkurang keyakinannya terhadap kondisi penghasilan ke depan. Hampir semua kelompok pengeluaran, kecuali yang terbawah, mencatat penurunan Indeks Ekspektasi Penghasilan pada Juni lalu. Terdalam dicatat oleh kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta dan di atas Rp5 juta.
Optimisme yang susut itu terjadi berbarengan juga dengan penurunan keyakinan terhadap ketersediaan lapangan kerja ke depan. Kelompok dengan pengeluaran Rp1 juta hingga Rp2 juta anjlok terdalam dengan indeks ekspektasi lapangan kerja tergerus hingga 10,1 poin pada Juni lalu.
Alhasil, tingkat keyakinan konsumen RI terhadap kondisi ekonomi ke depan turun ke level terendah sejak Maret 2024.
Tidak mengejutkan jika pesimisme mulai merasuki. Data terakhir yang dilansir pemerintah mencatat, angka PHK pada semester 1-2024 melonjak hingga 95% mencapai lebih dari 30.000 orang. Permintaan yang lesu membuat pabrikan, perusahaan-perusahaan manufaktur mengurangi jumlah karyawan dan tidak memperpanjang kontrak kerja para karyawan tidak tetap.
Situasi yang suram membuat pola konsumsi masyarakat semakin defensif dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari. Data Mandiri Spending Index mencatat, proporsi belanja barang kebutuhan sehari-hari pada periode libur sekolah mulai tengah Juni hingga medio Juli, semakin meningkat menjadi 46,4% dibandingkan pertengahan 2023 sebesar 41%.
Indikator Penting Melemah
Badan Pusat Statistik dijadwalkan mengumumkan kinerja pertumbuhan ekonomi RI kuartal II-2024. Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson, memprediksi ekonomi RI kuartal lalu hanya akan tumbuh 4,95% year on year, lebih rendah dari capaian kuartal sebelumnya sebesar 5,11% akibat belanja rumah tangga dan investasi domestik yang kehilangan momentum.
Kesemua indikator, yakni keyakinan konsumen, penjualan ritel, impor barang konsumsi, rencana rekrutmen tenaga kerja hingga pertumbuhan kredit modal kerja, tercatat melemah.
Mengacu data historis, pada kuartal 1-2024 secara tahunan RI membukukan pertumbuhan 5,11%. Akan tetapi, secara kuartalan terjadi kontraksi 0,83% dibanding kuartal IV-2023.
Penyebabnya adalah penurunan pertumbuhan beberapa sektor usaha seperti sektor konstruksi yang mencatat penurunan -2,57%, lalu sektor jasa pendidikan yang minus 10,34%, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial yang turun -7,48%.
Bila melihat sisi permintaan (aggregate demand), investasi (PMTB) juga mencatat kontraksi -4,84% setelah tumbuh 2,57% pada kuartal IV-2023. Kontraksi itu lebih dalam dibanding kuartal 1-2023 sebesar-3,72%. Hal yang sama terlihat untuk ekspor yang terkontraksi 6,26%, juga impor -4,11%.
Adapun konsumsi rumah tangga yang berandil terbesar, mencatat perlambatan pertumbuhan di angka 0,64% setelah pada kuartal sebelumnya tumbuh 1,58%. Padahal, pada kuartal 1 lalu ada momentum Ramadan yang secara historis mengungkit belanja masyarakat.
(rui/aji)