Saat dimintai konfirmasi ulang oleh Bloomberg Technoz, Executive Vice President Government Relations, External Affairs & Corpcomms Freeport Indonesia Agung Laksamana membenarkan kunjungan tersebut tidak berkaitan dengan lobi-lobi ekspor kosentrat.
“Bukan [dalam rangka membahas moratorium ekspor konsentrat tembaga], tetapi silaturahmi dan [membahas] tentang progres smelter [Manyar] yang minta dipercepat,” tegasnya.
Untuk diketahui, pemerintah sejatinya sudah memberikan waktu bertahun-tahun kepada PTFI untuk menyelesaikan smelter konsentrat bijih tembaga. Pembangunan smelter seharusnya sudah dilakukan sejak 1997, tetapi tidak kunjung terlaksana hingga akhirnya terbit Undang-Undang (UU) No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Setelah pemerintah menerbitkan UU Minerba, PTFI diberikan waktu selama lima tahun atau sampai dengan 2014 untuk membangun smelter. Namun, sampai dengan tenggat tersebut, perusahaan tidak kunjung merealisasikannya.
PTFI akhirnya membangun smelter di Manyar, Gresik, Jawa Timur demi mendapatkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga 2041. Proyek itu digadang-gadang menjadi salah satu smelter konsentrat bijih tembaga terbesar di dunia dengan kapasitas mencapai 1,7 juta dry metric ton (dmt).
Pada Februari tahun ini, Freeport menerima kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 2,3 juta ton pada Februari, naik dari jatah tahun lalu sebanyak 2 juta ton. Namun, pemerintah memberi tenggat hingga Juni 2023 bagi PTFI untuk merealisasikan alokasi ekspornya.
Dalam pemberitaan di berbagai media massa, Tony Wenas pekan lalu menyatakan keberatan dengan tenggat ketat tersebut lantaran kapasitas produksi konsentrat yang dimiliki hanya mencapai 200.000 ton.
Dia bahkan mengeklaim moratorium yang diberlakukan pada Juni akan berdampak pada PHK sekitar 60% karyawan PTFI, menyerupai kejadian pada 2017 di mana perusahaan tidak boleh melakukan aktivitas ekspor konsentrat.
Namun, menurut pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, skenario terburuk PHK 60% tenaga kerja PTFI hanya sekadar untuk menakut-nakuti pemerintah. Dia pun menyarankan pemerintah tidak terpengaruh dengan ancaman yang disampaikan oleh perusahaan tersebut.
"PTFI itu sejak dahulu kalau ada rencana pelarangan ekspor konsentrat [bijih tembaga] selalu mengeluarkan ancaman, termasuk PHK pekerjanya, karena akan menghentikan produksi. Selain itu, mereka juga melakukan lobi ke pemerintah demi kepentingan bisnisnya," katanya ketika dihubungi, Selasa (11/4/2023).
Di sisi lain, Komisi VII DPR RI meragukan komitmen pemerintah untuk melarang ekspor konsentrat bijih tembaga mulai Juni 2023. Hal ini tidak terlepas dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) 60% pekerja PTFI.
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto pesimistis pemerintah akan melarang ekspor konsentrat bijih tembaga pada tenggat tengah tahun ini. Dia menyebut pemerintah kemungkinan besar akan mengeluarkan kebijakan untuk merevisi Undang-Undang (UU) No. 3/2020 tentang Perubahan Atas UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, jelang jatuh tempo pelaksanaan.
Kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah di bawah ancaman yang dikeluarkan oleh PTFI beberapa waktu lalu. Selain ancaman PHK 60% pekerja, anak usaha dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. itu menyebut pemerintah akan kehilangan penerimaan negara dengan nilai cukup besar dari pelarangan ekspor konsentrat bijih tembaga.
Sebagai catatan, berdasarkan data PTFI, selama 2022 penerimaan negara dari perusahaan tersebut meliputi pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai US$ 3,32 miliar. Sementara itu, pada 2023, penerimaan negara anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. itu diproyeksi mencapai US$ 3,37 miliar.
"Pengusaha-pengusaha tambang sudah paham dengan kelemahan ini. Makanya, mereka berani mengeluarkan sikap yang melawan undang-undang. Baik dalam bentuk pernyataan yang menakut-nakuti atau pendekatan-pendekatan birokrasi lainnya," katanya kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/4/2023).
(wdh/evs)