Arifin mengatakan, pemerintah nantinya juga bakal mengarahkan investor smelter untuk beralih ke smelter lainnya, dengan memperhatikan permintaan internasional.
Saat ini, smelter mineral di Indonesia terdiri dari smelter bauksit 7 unit, smelter nikel 7 unit, smelter ferro 1 unit dan smelter tembaga 1 unit.
Sementara, Kementerian Perindustrian mencatat sampai dengan Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE). Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta 7 lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan atau feasibility studies (FS). Dengan demikian, total proyek smelter nikel di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek.
Arifin mengatakan, total sumber daya bijih nikel sebesar 17,33 miliar ton, sementara cadangan bijih nikel 5,03 miliar ton pada 2022, terdiri dari saprolite 3,35 miliar ton dan limonite 1,67 miliar ton.
Adapun, jumlah rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) 2024 yang disetujui adalah 240 juta ton. Sementara, pada tahun lalu kebutuhan nikel untuk smelter sebesar 220 juta ton.
“Ini harus kita kendalikan betul-betul supaya hilirnya memiliki prospek nilai tambah lebih baik, lalu bisa mendukung transisi energi kita ke industri electric vehicle [EV],” ujarnya.
(dov/ain)