Selain itu, menurut Meidy, selama ini AS bukanlah negara tujuan ekspor utama dari produk setengah jadi itu. Negara-negara di Asia Timur, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan masih mendominasi ekspor nikel sulfat dan kobalt sulfat Indonesia hingga saat ini.
Walaupun demikian, bukan berarti pelaku industri pertambangan dan pengolahan nikel sama sekali tidak merasakan adanya perubahan akibat dari kebijakan diskriminatif AS itu. Menurut Meidy, kebijakan tersebut membuat harga nikel sempat mengalami penurunan.
“Berpengaruh ke harga bijih nikel yang turun drastis selama dua bulan terakhir. Kalau dari kebijakan IRA sendiri belum ada dampak langsung, pengaruh ke harga saja,” ujarnya.
Namun, anjloknya harga nikel hingga 22% sepanjang tahun berjalan atau year to date (ytd) tidak sepenuhnya berkaitan dengan kebijakan IRA. Penurunan juga diakibatkan oleh rendahnya kedatangan bijih nikel akibat keengganan perusahaan hilir untuk mengisi kembali pasokan karena rendahnya permintaan.
Bukan Mimpi Buruk
Lebih lanjut, Meidy menyebut tidak adanya subsidi AS bagi baterai kendaraan listrik yang menggunakan komponen asal Indonesia bukanlah mimpi buruk bagi pelaku industri nikel dalam negeri. Sebab, saat ini AS dengan Tesla Inc.-nya bukanlah negara yang memproduksi kendaraan listrik terbanyak di dunia.
“BYD Auto yang dari China itu penjualan kendaraan listriknya jauh lebih tinggi dari Tesla pada 2022. BYD Auto 1,8 juta dan Tesla hanya 1,34 juta. Dan kalau bicara China kenapa lebih banyak atau mendominasi industri nikel di Indonesia? Karena memang mereka bergerak cepat dan mau mengikuti aturan yang ada di Indonesia,” tuturnya.
Namun, Meidy tetap berharap agar Indonesia tak lagi dikucilkan oleh AS dalam kebijakan terbarunya itu. Selain melobi pemerintah AS, dia juga meminta pemerintah serta pelaku industri pertambangan dan pengolahan nikel dapat memperbaiki aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola atau environmental, social and corporate governance (ESG).
“Kita perbaiki dahulu dari sisi ESG-nya. Ini kan green energy tetapi prosesnya kok ada yang tidak green. Tidak bisa dimungkiri untuk ESG ini kita belum sepenuhnya menjalankannya dengan baik,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia berencana mendesak skemakerja sama perdagangan bebas terbatas dengan AS, guna menghindari nikel RI dikecualikan dari daftar penerima insentif fiskal dalam kerangka IRA.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan Pemerintah Indonesia akan segera bertolak ke AS untuk menawarkan skema limited FTA agar mineral kritis RI tetap mendapat jatah insentif tersebut.
“Lusa saya akan ke Amerika, [bertemu] dengan Tesla juga. Kami akan bicarakan itu, karena kalau tidak, mereka [AS] rugi juga. Sebab, dengan green energy yang kita [Indonesia] punya untuk memproses perkursor dan katoda, mereka [AS] tidak akan dapat dari Indonesia [kalau tidak ada FTA]. Makanya, kami akan usulkan limited FTA dengan AS,” tegas Luhut di sela konferensi pers Update Kerja Sama Indonesia-Tiongkok, Senin (10/4/2023).
Indonesia, dalam hal ini, akan meniru manuver Jepang dalam mengamankan posisi mereka sebagai penerima insentif fiskal tersebut. Dua pekan lalu, Negeri Sakura menandatangani FTA terbatas khusus untuk mineral kritis dengan AS dalam Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik atau Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).
“Memang, [insentif dalam skema] IRA itu membuat Amerika menjadi lebih menarik. Misal harga gas lagi naik, sehingga cost listrik di Eropa sekarang jadi tambah mahal. Akibatnya, banyak [perusahaan energi di Eropa] yang pindah ke Amerika. Namun, dalam konteks ini, [posisi Indonesia] masih oke. Indonesia masih jadi pilihan karena kita punya banyak sumber energi,” jelas Luhut.
Dalam kaitan itu, dia percaya diri usulan limited FTA yang ditawarkan RI akan membuat AS melunak dan memasukkan mineral kritis asal Indonesia dalam skema IRA. Bahkan, dia menegaskan Washington justru akan dirugikan bila tidak mencantumkan Indonesia.
(rez/wdh)