Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menekankan bahwa konsekuensi dari penuruan kinerja manufaktur Indonesia, yang tecermin dalam Purchasing Managers' Index (PMI) S&P Global, adalah pemburukan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kinerja industri yang mandek.

Penurunan PMI manufaktur pada Juli sekaligus menjadi  alarm bahwa terjadi koreksi permintaan produk-produk manufaktur buatan Indonesia. Walhasil, pelaku industri harus melakukan upaya penyesuaian untuk tetap bertahan.

"Sehingga industri, mau tidak mau mengurangi barang yang bisa diproduksi dan dijual, begitu. Nah, konsekuensi dari ini tentu saja bagi industri yang pertama, yang terbesar mereka harus mengurangi pembelian bahan-bahan, alat baku," jelas Tauhid, Kamis (1/8/2024).

"Kedua, mengurangi utilitas mesin-mesin produksinya. Ketiga, dilakukan efisiensi. Kalau [PMI] ini sampai dua bulan, atau tiga bulan [turun terus], nah itu yang bahaya," sambungnya.

'Bahaya' yang dia maksud adalah risiko gelombang efisiensi industriawan berupa keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Konsekuensi dari PMI turun, mereka harus lakukan efisiensi. Salah satunya PHK. Jadi, itu akan sejalan. Nah, dua-duanya akan sejalan [baik] kalau usaha ekonomi itu akan pulih," tekannya.

Sekadar catatan, S&P Global mengumumkan indeks PMI Indonesia pada Juli turun ke zona kontraksi di 49,3, dari posisi 50,7 pada Juni. Bahkan, indeks tersebut menjadi yang terendah sejak Agustus 2021, ketika perekonomian Indonesia mati suri akibat Covid-19. 

Sebagai informasi, indeks diukur dengan angka 50 sebagai penanda zona ekspansi. Bila di angka 50 atau di atasnya, maka aktivitas manufaktur masih ekspansif atau bertumbuh positif. Sebaliknya bila di bawah 50, artinya aktivitas turun atau terkontraksi (tumbuh negatif).

Indeks produksi (output) terperosok ke 48,8 pada Juli, dibandingkan dengan 51,4 pada Juni. Sementara itu, pemesanan baru juga jatuh ke level terendah sejak Agustus 2021.

"Perlambatan pasar secara umum mendukung memburuknya kondisi operasi selama Juli, dengan angka pesanan baru menurun dan produksi juga turun untuk pertama kalinya dalam lebih dua tahun terakhir. Para produsen melakukan kehati-hatian dengan aktivitas pembelian yang berkurang dan penurunan lapangan kerja pada tingkat tercepat sejak September 2021," kata Paul Smith, Economics Director di S&P Global Market Intelligence dalam pernyataan yang dirilis hari ini.

Survei yang dilakukan pada Juli terhadap perusahaan manufaktur di RI ini menunjukkan kemerosotan dalam produksi barang. Di samping itu, output dan pesanan baru juga sedikit menurun, sementara perusahaan memilih untuk mengurangi jumlah karyawan untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir tahun ini.

Adapun, kendala pasokan disebut sebagai salah satu faktor utama yang membatasi aktivitas manufaktur di Indonesia. Di sisi lain, inflasi harga input melemah akan tetapi biaya output naik dengan laju lebih kuat.

Berbanding lurus, Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini melaporkan total jumlah pekerja yang terkena PHK selama semester I-2024 mencapai 32.064 orang. Angka itu naik 95,51% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta dan Banten yang masing-masing mencapai 7.469 orang dan 6.135 orang selama enam bulan pertama tahun ini. Sementara itu, Jawa Barat mencatat sebanyak 5.155 pekerja di kawasan itu terkena PHK selama paruh perdana tahun berjalan.

Laju PHK mencatat kenaikan tanpa henti sepanjang lima bulan pertama tahun ini. Pada Juni, bila menghitung laju bulanan, jumlah pekerja yang terkena PHK turun jadi 4.842 orang. Capaian tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan Mei yang mencapai 8.393 orang.

(prc/wdh)

No more pages