“Di masa depan, ketidaktersediaan bahan-bahan ini dapat menghambat India untuk mencapai tujuan energi bersihnya,” kata Singh. Ia mendesak pihak berwenang untuk mempercepat izin tambang baru yang direncanakan perusahaan.
Pembangunan industri logam tanah jarang di India sendiri banyak menghadapi banyak tantangan: mulai dari pendekatan hati-hati secara historis terhadap izin tambang, hingga kualitas bijih yang rendah dan kapasitas hilir yang relatif belum berkembang.
Kilang IREL sendiri saat ini memiliki kapasitas tidak lebih dari 40% karena terbatasnya pasokan bijih untuk diolah di tambang.
Dominasi China
Singh juga mengatakan dia berharap negara itu dapat mengembangkan lebih banyak kapasitas hilir untuk tanah jarang, ini adalah kunci dominasi aktivitas global China.
“Sementara kapasitas penambangan, pemrosesan, dan pemurnian tersedia di India, segmen midstream dan downstream di sektor ini tidak ada,” katanya.
Ia menambahkan setidaknya dibutuhkan biaya antara 30 miliar rupee ($ 365 juta) hingga 50 miliar rupee untuk mengembangkan pabrik hilir guna menyerap hasil yang direncanakan IREL.
Saat ini, Toyotsu Rare Earths India Pvt., unit dari Toyota Tsusho Corp. Jepang, adalah satu-satunya penyuling swasta, dan mengambil konsentrat yang dipasok oleh IREL.
Singh menjelaskan bahwa kualitas bijih India yang lebih rendah menjadi tantangan besar, jika dibandingkan dengan kualitas bijih yang dihasilkan oleh China. Hal itu turut memengaruhi pemrosesan yang berimbas pada peningkatan biaya.
(bbn)