Hal itu pada akhirnya mendorong para produsen untuk mengurangi aktivitas pembelian pada bulan Juli yang menjadi penurunan pertama sejak Agustus 2021.
"Jumlah karyawan juga dikurangi dengan penurunan yang paling tajam selama hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya," jelas S&P Global dalam rilis yang disiarkan Kamis pagi tadi.
Laporan S&P itu seakan melengkapi berbagai indikator yang menyalakan peringatan dalam beberapa waktu terakhir. Data Kementerian Tenaga Kerja beberapa waktu lalu melaporkan, angka PHK di Indonesia melonjak sepanjang enam bulan pertama tahun ini mencapai lebih dari 30.000 orang, atau melonjak 95% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Dampak Omnibus Law?
Marak PHK di Indonesia sulit juga dilepaskan dari keberadaan Undang Undang Cipta Kerja alias Omnibus Law yang dinilai semakin membuat posisi karyawan rentan.
Dalam pengajuan judicial review atas UU Cipta Kerja pada Mahkamah Konstitusi, para pekerja yang diwakili oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, membeberkan alasan tuntutan pencabutan beleid tersebut.
Di antaranya adalah, UU itu tidak memberikan batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing. Selain itu, regulasi itu juga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh.
"UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja," kata Said Iqbal, Presiden KSPI dalam keterangan tertulis dilansir beberapa waktu lalu.
Beleid kontroversial itu juga hanya mengatur pemberian pesangon PHK hanya setengah dari aturan sebelumnya sehingga merugikan pekerja yang kena PHK. Selain itu, PHK menjadi lebih mudah dilakukan sehingga membuat para pekerja tidak memiliki kepastian bekerja. Stabilitas pendapatannya menjadi rentan.
Terkait keberadaan karyawan kontrak, misalnya, dalam regulasi lama yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 59, tertulis bahwa pekerja atau buruh yang bekerja di suatu perusahaan bisa diangkat menjadi karyawan tetap setelah bekerja dalam periode maksimal paling lama 2 tahun, dan diperpanjang 1 kali untuk 1 tahun ke depan.
"Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu," bunyi Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003.
Pasal itu dihapuskan dalam Undang Undang Cipta Kerja sehingga memungkinkan pemberi kerja berulang memperpanjang kontrak atau memutus kontrak saat perjanjian selesai tanpa ada tuntutan mengangkat karyawan sebagai pekerja tetap.
Lapangan kerja kian sempit
Situasi yang dihadapi oleh kaum pekerja di Indonesia akibat terseret pelemahan aktivitas manufaktur menjadi kabar kurang baik kesekian di tengah penciptaan lapangan kerja yang kian menurun dalam satu dasawarsa terakhir.
Mengacu pada data Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah oleh Divisi Riset Bloomberg Technoz, penambahan lapangan kerja di sektor formal selama 10 tahun terakhir terlihat memburuk. Sepanjang 2009-2014, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal berhasil menyerap sekitar 15,62 juta pekerja.
Angkanya kemudian menurun pada periode 2014-2019 dengan besar penyerapan hanya 7,78 juta pekerja saja. Yang terburuk, pada 2019-2024, penyerapannya semakin ambles, hanya 2,77 juta alias tak sampai 3 juta lapangan kerja formal baru tercipta. Dengan kata lain, dalam 10 tahun terakhir, lebih khusus lima tahun ini, orang Indonesia semakin sulit mendapatkan pekerjaan di sektor formal.
Sektor formal mengacu definisi BPS mencakup pegawai atau karyawan. Juga pekerja mandiri yang memiliki buruh dengan upah tetap, biasa disebut sebagai kalangan pengusaha. Di luar definisi itu, maka seorang pekerja termasuk bekerja di sektor informal. Sampai Februari lalu, berdasarkan data Sakernas, hanya sebesar 58,05 juta orang Indonesia yang bekerja di sektor formal.
Pandemi memang memperburuk penyediaan lapangan kerja sektor formal. Namun, bila melihat data tersedia, sejatinya tren penurunan ketersediaan lapangan kerja sektor formal sudah berlangsung sejak sebelum pandemi merebak.
Itu yang terlihat dari penurunan ketersediaan lapangan kerja pada periode pertama pemerintahan Jokowi, apabila dibandingkan dengan era terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada era terakhir pemerintahan SBY, terjadi penambahan lapangan kerja sebanyak 15,62 juta pekerjaan. Angkanya turun tinggal penambahan sebesar 7,88 juta pada periode pemerintahan selanjutnya.
(rui/roy)