Menyitir laporan Speed Test pada Juni 2024, kecepatan internet bergerak atau mobile broadband di AS berada pada peringkat ke-11, posisi itu di bawah Norwegia yang berada pada posisi ke-4, Denmark posisi ke-5, Korea Selatan posisi ke-6 dan China posisi ke-7.
Sementara itu, secara kecepatan internet tetap atau fixed broadband, AS berada pada posisi ke-5.
Dengan demikian, kata Eka, pengguna EV di AS cenderung takut untuk melakukan perjalanan dengan EV jarak jauh. Apalagi, kondisi jarak antara negara-negara bagian di Negeri Paman Sam berjauhan.
Selain itu, jumlah populasi SPKLU di AS juga menjadi faktor dari banyak pengguna EV yang mempertimbangkan kembali ke BBM.
Menurut Kantor Gabungan Energi dan Transportasi AS, saat ini terdapat sekitar 70.600 SPKLU di negara tersebut, dengan total lebih dari 188.300 port pengisian daya Electric Vehicle Supply Equipment.
Jumlah total stasiun pengisian daya mencakup sekitar 60.900 stasiun Level 2 dengan lebih dari 143.500 port pengisian daya. Namun, jumlah tersebut hanya mencakup sekitar 11.100 stasiun Pengisian Cepat DC dengan sekitar 45.000 port pengisian daya.
Isu Infrastruktur
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpandangan fenomena di negara-negara maju tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh infrastruktur fasilitas pengisian listrik.
Dia mencontohkan pengguna mobil di AS, misalnya, memiliki kebiasaan untuk melakukan perjalanan dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya menggunakan mobil. Dengan demikian, kemumpunan infrastruktur SPKLU menjadi sangat penting.
“Sementara itu, kalau saya lihat di AS, charging infrastructure itu disediakan oleh produsen mobil. Misalnya Tesla dia bangun jaringan charger. Terus perusahaan mobil lain juga, ada yang memang bisa dipakai oleh multi brand, tetapi terbatas,” ujar Fabby saat dihubungi, dikutip Sabtu (27/7/2024).
Sebelumnya, sebuah riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis BBM.
Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia dengan 49%, disusul oleh AS (46%), dan Brasil (38%).
Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).
(dov/wdh)