Logo Bloomberg Technoz

Untuk itu, harga per bungkus rokok kemungkinan akan lebih murah karena pengusaha akan mengurangi jumlah batang rokok dalam satu bungkusnya.

"Rokok itu adalah kebutuhan kedua setelah kebutuhan makanan dan sebagainya, sehingga banyak pelaku usaha itu yang kemudian, ya dengan situasi ini, akan mengalami down trading rokok. Rokok mahal akan berkurang, sementara rokok-rokok yang harga rendah akan muncul," sambungnya.

"Jadi konsekuensinya akan terjadi down trading ukuran per bungkusnya," tuturnya.

Presiden Jokowi belum lama ini  menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 17/2023 tentang Kesehatan, yang pada Pasal 434 mengatur larangan penjualan rokok secara eceran.

Selain itu, pemerintah  juga mengatur larangan penjualan rokok, baik tembakau maupun elektrik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Penjualan juga dilarang dengan menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

Namun, menurut Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi ketika ditemui pada awal Mei , RPP Kesehatan yang saat itu tengah digodok oleh pemerintah terlalu banyak melakukan pelarangan terhadap produsen rokok.

Menurut dia, rokok selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar kepada penerimaan negara melalui pungutan cukai. Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menganulir dan atau mengkaji ulang penambahan ayat tersebut.

"Kalau kami pelaku usaha melihatnya, ini perlu dianulir, perlu diobservasi lagi, perlu dikaji ulang. Apapun, yang namanya pasal karet, akan mengakibatkan kesalahan implementasi di dalam penjualan rokok atau perdagangan rokok yang merupakan kontributor terbesar dalam pajak kita," kata Benny.

Rokok Ilegal

Dia pun mengkhawatirkan, apabila terlalu banyak praktik pelanggaran dalam perdagangan rokok akibat terlalu ketatnya peraturan, peredaran rokok ilegal justru bakal kian merajalela.

Dalam catatan Gaprindo, produksi rokok ilegal dalam negeri pada 2020 sudah di atas 15 miliar batang, sementara produksi rokok putih pada 2023 bahkan sudah berkurang hingga di bawah 10 miliar batang. Tak hanya itu, cukai rokok juga berkontribusi 10%—20% untuk pendapatan negara atau hampir Rp220 triliun.

Namun, di satu sisi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan mengungkap terdapat potensi kenaikan tarif cukai rokok pada 2025.

Dirjen Bea dan Cukai Askolani menegaskan bahwa pihaknya telah mendapat persetujuan untuk menyesuaikan tarif cukai rokok. Selain itu, otoritasnya juga akan terus melakukan intensifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk 2025.

"Nanti kami udah dapat approval [persetujuan] untuk meng-adjust [menyesuaikan] tarif cukainya 2025 intensifikasi," kata Askolani saat ditemui awak media di kompleks DPR RI, awal Juni.

Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa besaran dari penyesuaian tarif rokok akan dibahas dan akan dimasukkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, dan penetapannya baru akan terjadi pada Agustus mendatang.

"Tapi nanti besarannya nanti kami bahas di RAPBN 2025, Agustus nanti," tuturnya.

(prc/wdh)

No more pages