Logo Bloomberg Technoz

Pada Juli-September 2020, BPS mencatat terjadi deflasi masing-masing sebesar -0,05%, lalu -0,05% dan -0,10%. Angka deflasi Juli 2024 juga menjadi yang terendah sejak Agustus 2022 ketika Indonesia mencatat deflasi -0,22%.

Amalia menghindar untuk menyebut deflasi beruntun tiga bulan terakhir sebagai indikasi pelemahan daya beli masyarakat. 

"Untuk menyimpulkan apakah deflasi merupakan indikator lesunya daya beli masyarakat, harus hati hati, harus ada analisa lebih lanjut," kata Amalia, menjawab pertanyaan para jurnalis.

Ia menjelaskan, penurunan harga yang terekam dalam angka deflasi tersebut belum tentu menandakan penurunan daya beli masyarakat. Pasalnya, kondisi pasokan pasar saat ini melimpah sehingga menyebabkan penurunan harga pasokan. "Tidak bisa serta merta menyimpulkan ada penurunan daya beli karena ada deflasi," kata Amalia lebih lanjut.

BPS melaporkan, penyumbang deflasi terbesar secara bulanan adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi 0,97% dan memberi andil deflasi 0,28%.

Deflasi juga terutama disumbang oleh komponen harga bergejolak yang mencatat deflasi sebesar 1,92% dan memiliki andil deflasi 0,32%.

"Komoditas yang dominan memberi andil deflasi adalah bawang merah, cabai merah, tomat, daging ayam ras, bawang putih, dan telur ayam ras," jelas Amalia.

Inflasi Juli tercatat naik 2,13% secara tahunan, lebih rendah dibanding Juni sebesar 2,51% year-on-year. Sementara inflasi inti pada Juli tercatat naik menjadi 1,95% year-on-year, dari angka sebelumnya 1,90%.

Secara sederhana, deflasi merupakan kondisi ketika terjadi penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Penurunan harga bisa karena melemahnya permintaan dari konsumen. Bisa juga karena suplai yang lebih besar. 

Deflasi yang terjadi terus menerus dengan cukup tajam bisa menjadi salah satu sinyal bahaya sebuah perekonomian. Ketika tingkat permintaan terus melemah, pabrikan atau pemilik usaha menghadapi penurunan penjualan yang bisa memicu kerugian dan mendorong efisiensi lebih besar, seperti pemangkasan tenaga kerja untuk menghemat beban produksi. Tidak mengherankan bila deflasi seringkali dikaitkan dengan resesi karena sering terjadi ketika perekonomian kurang darah, alias lesu.

Aktivitas manufaktur lesu

Hari ini sebelum pengumuman data inflasi, S&P Global merilis data PMI manufaktur yang mengukur aktivitas industri. 

Menurut data yang dilansir tersebut, indeks Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia turun di bawah angka 50, tepatnya di 49,3, dari posisi 50,7 pada bulan Juni. 

Ini menjadi kali pertama PMI manufaktur RI terjerembab ke zona kontraksi dalam tiga tahun terakhir. Terakhir PMI manufaktur mencatat kontraksi adalah pada Agustus 2021, ketika pandemi masih membuat perekonomian mati suri.

Berdasarkan rilis S&P Global, para pelaku usaha (produsen) di Indonesia melaporkan kelesuan permintaan dari pasar domestik juga dari pasar ekspor.

Penurunan PMI pada Juli mencerminkan penurunan output dan pesanan baru secara bersamaan. Para panelis melaporkan, permintaan pasar di Indonesia saat ini sedang lesu dan menjadi faktor utama yang mendorong penurunan penjualan untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir.

Penjualan ekspor baru menurun meski pada tingkat lebih rendah dan sebagian adalah imbas dari keterlambatan pengiriman akibat masalah pada rute pelayaran global.

Sebagai informasi, indeks PMI manufaktur diukur dengan angka 50 sebagai penanda zona ekspansi. Bila di angka 50 atau di atasnya, maka aktivitas manufaktur masih ekspansif atau bertumbuh positif. Sebaliknya bila di bawah 50, artinya aktivitas turun atau terkontraksi (tumbuh negatif).

PMI Manufaktur Indonesia terperosok ke zona kontraksi, terendah sejak Agustus 2021 (Bloomberg)

(rui)

No more pages