Arief juga menegaskan hingga saat ini proyeksi impor beras oleh Perum Bulog (Persero) hanya sebesar 3,6 juta ton. "Bulog memiliki izin importasi 2024 sebanyak 3,6 juta ton sebagai cadangan pangan pemerintah [CPP]," tuturnya.
Kekhawatiran atas proyeksi impor yang diperkirakan mencapai 5,17 ton tersebut bukan tanpa alasan. Menurut Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, estimasi impor tersebut menjadi bukti ketahanan pangan nasional yang makin mengkhawatirkan.
Berdasarkan Proyeksi Neraca Beras Nasional 2024 yang dimutakhirkan pada Mei 2024, Indonesia berpotensi mengimpor beras hingga 5,17 juta ton sepanjang 2024.
Realisasi impor beras pada Januari—April 2024 telah mencapai 1,77 juta ton, sedangkan rencana impor pada Mei—Desember 2024 adalah sebanyak 3,40 juta ton. Hal ini kian membuat kecenderungan kekhawatiran melebih target, di mana impor beras pada 2023 lalu mencapai 3,06 juta ton.
"Jika terealisasi, impor beras 5,17 juta ton pada 2024 ini akan menjadi rekor impor beras terbesar, melewati impor beras tahun 1999 yang mencapai 4,75 juta ton. Angka ini juga akan menjadikan Indonesia sebagai negara importir beras terbesar di dunia, mengalahkan Filipina yang rata-rata mengimpor beras sekitar 4 juta ton setiap tahunnya," ujar Yusuf dalam keterangan tertulisnya.
Produksi Tak Tertolong
Proyeksi impor besar-besaran ini juga menurutnya terjadi akibat jatuhnya produksi beras nasional tahun ini secara signifikan. Produksi beras pada Januari—Juli 2024 diperkirakan anjlok hingga 13,3%, atau setara 2,47 juta ton, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, sejak 2018, produksi beras nasional menunjukkan kecenderungan penurunan yang persisten. "Bila pada 2018 produksi beras nasional masih mencapai 33,9 juta ton, pada 2023 turun menjadi hanya 30,9 juta ton."
Di samping itu, tingginya harga beras yang terjadi selama 3 tahun terakhir memang sebagian didorong oleh turunnya pasokan pascafenomena El Niño menerjang Juni 2023—Juni 2024.
Namun, masalah dalam kapasitas produksi beras nasional Indonesia dinilai tidak hanya berkaitan dengan iklim dan cuaca yang tidak menentu, melainkan juga minimnya ketersediaan pupuk, jumlah petani yang makin menurun dan menua, hingga alih fungsi sawah yang semakin tidak terkendali.
Indikasi alih fungsi lahan sawah yang masif ini terlihat pula pada penetapan lahan sawah yang dilindungi (LSD) di delapan provinsi sentra beras yaitu Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
"Di delapan provinsi sentra beras ini luas lahan baku sawah [LBS] pada 2019 sekitar 3,97 juta hektare. Namun, pada 2021, hanya 3,84 juta hektare sawah saja di delapan provinsi tersebut yang dapat ditetapkan menjadi LSD. Ini berarti sekitar 136.000 hektare sawah di delapan provinsi sentra beras tersebut diduga kuat telah mengalami konversi sepanjang 2019—2021," kata Yusuf.
Untuk itu, Yusuf menekankan agar melindungi lahan sawah yang tersisa, terutama di Jawa, adalah kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk ketahanan pangan di masa depan.
"Mempertahankan sawah dan mendorong usaha pertanian rakyat berbasis keluarga di Jawa adalah krusial untuk memastikan ketahanan pangan kita di masa depan, bukan dengan [program] Food Estate yang mahal dan berisiko tinggi gagal," pungkasnya.
(prc/wdh)