Seperti diketahui, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2024 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 17/2023 tentang Kesehatan. Salah satu pasal mengatur tentang aturan penjualan dan pembelian rokok.
Pasal 434 PP tersebut mengatur larangan penjualan rokok secara eceran. Penjualan juga dilarang terhadap pembeli di bawah usia 21 tahun.
Selain itu, pemerintah juga mengatur larangan penjualan rokok, baik tembakau maupun elektrik dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak. Penjualan juga dilarang dengan menggunakan jasa situs jejaring atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
Dalam kaitan tersebut, Tauhid menilai memang tujuan utama dari regulasi ini adalah untuk mengurangi penggunaan rokok pada anak.
"Preferensi rokok anak itu harus diturunkan sehingga dilarangnya eceran ini agar terjadi anak tidak bisa membeli rokok lebih murah. Saya kira tujuannya itu, sehingga harga yang bisa dibeli itu lebih mahal dari biasanya," ujarnya.
Merujuk data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang, dengan 7,4% di antaranya perokok berusia 10—18 tahun.
Perinnciannya, kelompok usia 15—19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5%), diikuti usia 10—14 tahun (18,4%).
Data tersebut pun menunjukkan kenaikkan bila dibandingkan dengan data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, di mana prevalensi perokok pada anak sekolah usia 13—15 tahun naik dari 18,3% (2016) menjadi 19,2% (2019).
Pasal Karet
Namun, pengusaha ritel modern menyebut aturan mengenai zonasi dan pembatasan usaha rokok dalam regulasi turunan UU Kesehatan rawan menimbulkan salah tafsir dalam implementasinya, yang pada akhirnya justru berujung merugikan negara.
"Kalau ada zonasi yang di bawah 200 meter ini sangat [bisa] menjadi pasal karet. Bagaimana menentukan 200 meternya? Pakai apa menentukan 200 meternya? Pakai GPS? Atau pakai apa? Kemudian, siapa yang mau mengukur 200 meter? Ini kalau bicara di bawah 200 meter, berarti kan mesti tepat dong ukurannya. Siapa yang mau mengukur? Apakah ada petugasnya?," ungkap Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey, awal Mei.
Menurut Roy, apabila pemerintah memang ingin lebih mengaitkan peredaran rokok dengan isu kesehatan, peringatan berupa gambar yang tercantum dalam bungkus rokok sudah lebih dari cukup.
"Apakah memang ingin mematikan usaha? Iya pertanyaannya kan sederhana. Itu karena kalau di sektor hulu berhenti, maka kami di sektor ritel juga enggak berdagang. Pada akhirnya juga konsumsi atau produktivitas itu turun, konsumsi rumah tangga turun," jelasnya.
(prc/wdh)