Bloomberg Technoz, Jakarta - Akademisi dan pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai wacana penerapan pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) belum tentu dapat mendongkrak daya beli masyarakat untuk membeli produk otomotif, khususnya kendaraan roda empat.
Dia menjelaskan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, masih stagnan. Berbanding terbalik, harga mobil makin naik seirama dengan tren penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) serta suku bunga Bank Indonesia (BI).
"Jadi penerapan [bebas] PPnBM belum tentu secara langsung mendongkrak daya beli masyarakat untuk lini otomotif, terutama saat daya beli kelas menengah stagnan dan harga mobil naik akibat kenaikan nilai tukar dolar AS serta suku bunga BI," ujar Yannes saat dihubungi, Kamis (1/8/2024).

Dampak PPnBM
Yannes menggarisbawahi penerapan PPnBM tetap bisa berperan penting ke sejumlah aspek. Secara ekonomis, PPnBM dapat menjadi sumber pendapatan negara yang signifikan untuk membantu mengendalikan impor kendaraan.
Secara lingkungan, PPnBM menurut Yannes juga mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan dan transportasi umum.
Adapun, secara sosial, PPnBM dianggap sebagai pajak yang lebih adil karena dikenakan pada barang-barang mewah yang umumnya dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Namun, PPnBM kata Yannes juga menuai kritik karena dapat menghambat pertumbuhan industri otomotif negara-negara prinsipal yang ada di Indonesia.
"PPnBM memang dapat menjadi sumber pendapatan negara dan mengendalikan impor, tetapi juga bisa mengerek harga mobil, sehingga memberatkan konsumen middle income class Indonesia yang menjadi pasar terbesar mobil-mobil murah Jepang," jelasnya.
Untuk diketahui, kebijakan insentif PPnBM tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.73/2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Adapun, untuk kebijakan PPnBM DTP sebelumnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 5/2022 tentang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022.
Aturan tersebut berisi desain insentif PPnBM baru dengan fokus pada dua segmen mobil baru yang memiliki tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 80%, yaitu mobil baru yang dikategorikan sebagai Kendaraan bermotor hemat energi dan harga terjangkau (KBH2) atau low cost green car (LCGC), dan mobil baru bermesin sampai dengan 1.500 cc dengan harga on the road Rp200 juta hingga Rp250 juta.
Sejalan dengan hal tersebut, di sela pembukaan Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024 medio pekan lau, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan pemerintah berencana memperluas program insentif ke kendaraan-kendaraan ramah lingkungan, seperti LCGC.
Sebelumnya, Kemenperin juga telah mengeluarkan kebijakan mengenai mobil murah dan ramah lingkungan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
"Kemudian kalau untuk program LCGC, karena pada dasarnya program itu merupakan program ramah lingkungan, maka itu kita bisa perluas dan juga kita sekarang sedang menghitung seberapa besar faktor kenaikan dari unit LCGC," kata Agus.
"Jadi program produsen yang mengikuti program LCGC itu sekarang kita hitung berapa besar mereka bisa menaikkan harga," pungkasnya.
Adapun, berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), total penjualan mobil di tingkat ritel pada paruh pertama tahun ini hanya 431.987 unit atau turun 14% dari 502.533 unit dari tahun sebelumnya alias secara year on year (yoy).
Khusus pada Juni 2024, penjualan di tingkat ritel mencapai 70.198 unit turun 12,3% secara yoy. Lalu, penjualan pada Juni 2024 sebesar 70.198 juga turun 2,7% dari bulan sebelumnya atau secara month to month (mtm) yang sebanyak 72.176 unit.
(prc/wdh)