Penurunan PMI pada Juli mencerminkan penurunan output dan pesanan baru secara bersamaan. Para panelis melaporkan, permintaan pasar di Indonesia saat ini sedang lesu dan menjadi faktor utama yang mendorong penurunan penjualan untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir.
Penjualan ekspor baru menurun meski pada tingkat lebih rendah dan sebagian adalah imbas dari keterlambatan pengiriman akibat masalah pada rute pelayaran global.
Pada perdagangan hari ini, Indeks LQ45 masih membukukan kenaikan 0,97% pada pukul 10:38 WIB, sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang naik 0,65%, terungkit sentimen pasar yang masih di fase euforia pasca hasil FOMC The Fed dini hari tadi.
Rupiah yang semula dibuka lemah, jelang tengah hari beranjak menguat ke Rp16.235/US$. Sementara pergerakan harga obligasi negara mayoritas masih beringsut ke zona hijau alias naik. Yield 1Y turun ke 6,599%. Sedangkan SBN-5Y terkikis imbal hasilnya ke 6,690% dan tenor 10Y juga turun ke 6,884%.
PHK meningkat
Aktivitas manufaktur yang lesu juga melemahkan kondisi ketenagakerjaan. Perusahaan akhirnya banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena mengurangi karyawan demi mengurangi beban.
Pengurangan jumlah karyawan itu menjadi yang paling tajam dalam hampir tiga tahun terakhir. S&P Global mencatat, ada banyak laporan tentang minimnya perpanjangan kontrak karyawan yang sudah habis.
"Perlambatan pasar secara umum mendukung memburuknya kondisi operasi selama Juli, dengan angka pesanan baru menurun dan produksi juga turun untuk pertama kalinya dalam lebih dua tahun terakhir. Para produsen melakukan kehati-hatian dengan aktivitas pembelian yang berkurang dan penurunan lapangan kerja pada tingkat tercepat sejak September 2021," kata Paul Smith, Economics Director di S&P Global Market Intelligence dalam pernyataan yang dirilis hari ini.
Kelesuan aktivitas manufaktur Indonesia pada Juli menjadi hal kontras di kala sebagian besar negeri jiran masih melanjutkan ekspansi. Indeks manajer pembelian manufaktur untuk Taiwan berada di angka 52,9 pada bulan lalu dari 53,2 pada bulan Juni, sementara indeks Korea Selatan berada pada angka 51,4 dari 52, menurut data yang diterbitkan oleh S&P Global pada Kamis.
Di Asia Selatan, Vietnam, Thailand, dan Filipina masih berada di atas level 50 yang membedakan antara ekspansi dan kontraksi. Indonesia kompak dengan Malaysia yang juga mencatat aktivitas manufaktur yang makin buruk ke level 49,7 dari 49,9 di bulan Juni.
Data terbaru tersebut menyalakan alarm lebih keras tentang ekonomi RI yang tidak baik-baik saja. Sebelumnya, data Kementerian Tenaga Kerja mencatat, total jumlah pekerja yang terkena PHK selama semester 1-2024 mencapai 32.064 orang. Angka itu naik 95,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang 'baru' sebanyak 26.400 orang.
PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta dan Banten yang masing-masing mencapai 7.469 orang dan 6.135 orang selama enam bulan pertama tahun ini. Sementara provinsi Jawa Barat mencatat sebanyak 5.155 pekerja di kawasan itu terkena PHK selama semester 1-2024 ini.
Laju PHK mencatat kenaikan tanpa henti sepanjang lima bulan pertama tahun ini. Hanya pada Juni saja, bila menghitung laju bulanan, jumlah pekerja yang terkena PHK turun jadi 4.842 orang. Lebih sedikit dibanding Mei ketika sebanyak 8.393 orang kehilangan pekerjaan.
Bila tren penurunan PHK pada Juni itu berlanjut, ada harapan badai PHK tahun ini tidak akan sebesar 2023. Namun, bila PHK bulan lalu hanya tren sesaat, sangat mungkin jumlah pekerja yang terpaksa jadi pengangguran baru tahun ini bisa melampaui tahun lalu. Padahal total jumlah PHK pada 2023 sudah menjadi yang terbesar sejak 2021.
(rui)