Mayoritas mata uang Asia bergerak laju melawan dolar AS. Ringgit Malaysia memimpin penguatan 0,76%, disusul oleh dong Vietnam 0,23% dan won Korea 0,23%, dolar Taiwan 0,2% dan baht 0,12% serta peso Filipina 0,1%.
Sementara yuan offshore dan yuan Tiongkok sama-sama melemah masing-masing 0,1%, disusul oleh dolar Singapura yang tergerus 0,03%.
Secara teknikal nilai rupiah berpotensi menguat hari ini meski terbatas menuju ke resistance terdekat pada level Rp16.240/US$.
Resistance potensial selanjutnya ada di Rp16.200/US$ usai break MA-50, dan juga terdapat Rp16.170/US$ sebagai level paling optimis penguatan rupiah dengan time frame daily.
Selanjutnya nilai rupiah memiliki level support psikologis pada level Rp16.300/US$. Apabila level ini berhasil tembus, maka mengkonfirmasi laju support selanjutnya pada level Rp16.330/US$, dan Rp16.350/US$ yang makin menjauhi dan MA-100.
Aktivitas manufaktur kontraksi
S&P Global melaporkan, aktivitas manufaktur Indonesia yang terindikasi dari Purchasing Manager's Index (PMI), pada bulan Juli turun ke zona kontraksi di 49,3, dari posisi 50,7 di bulan Juni.
Angka Juli tersebut menjadi yang terendah sejak Agustus 2021, ketika perekonomian Indonesia mati suri akibat terjangan pagebluk.
Indeks produksi (output) terperosok ke 48,8 pada Juli, dibandingkan 51,4 pada bulan Juni. Sementara pemesanan baru juga jatuh ke level terendah sejak Agustus 2021.
"Perlambatan pasar secara umum mendukung memburuknya kondisi operasi selama Juli, dengan angka pesanan baru menurun dan produksi juga turun untuk pertama kalinya dalam lebih dua tahun terakhir. Para produsen melakukan kehati-hatian dengan aktivitas pembelian yang berkurang dan penurunan lapangan kerja pada tingkat tercepat sejak September 2021," kata Paul Smith, Economics Director di S&P Global Market Intelligence dalam pernyataan yang dirilis hari ini.
Kontraksi aktivitas manufaktur Indonesia pada Juli menjadi hal kontras di kala sebagian besar negara-negara jiran masih melanjutkan ekspansi. Indeks manajer pembelian manufaktur untuk Taiwan berada di angka 52,9 pada bulan lalu dari 53,2 pada bulan Juni, sementara indeks Korea Selatan berada pada angka 51,4 dari 52, menurut data yang diterbitkan oleh S&P Global pada Kamis.
Di Asia Selatan, Vietnam, Thailand, dan Filipina masih berada di atas level 50 yang membedakan antara ekspansi dan kontraksi. Indonesia kompak dengan Malaysia yang juga mencatat aktivitas manufaktur yang makin buruk ke level 49,7 dari 49,9 di bulan Juni.
Data terbaru tersebut menyalakan alarm lebih keras tentang ekonomi RI yang tidak baik-baik saja. Sebelumnya, data Kementerian Tenaga Kerja mencatat, total jumlah pekerja yang terkena PHK selama semester 1-2024 mencapai 32.064 orang. Angka itu naik 95,51% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang 'baru' sebanyak 26.400 orang.
PHK terbanyak terjadi di DKI Jakarta dan Banten yang masing-masing mencapai 7.469 orang dan 6.135 orang selama enam bulan pertama tahun ini. Sementara provinsi Jawa Barat mencatat sebanyak 5.155 pekerja di kawasan itu terkena PHK selama semester 1-2024 ini.
Laju PHK mencatat kenaikan tanpa henti sepanjang lima bulan pertama tahun ini. Hanya pada Juni saja, bila menghitung laju bulanan, jumlah pekerja yang terkena PHK turun jadi 4.842 orang. Lebih sedikit dibanding Mei ketika sebanyak 8.393 orang kehilangan pekerjaan.
Bila tren penurunan PHK pada Juni itu berlanjut, ada harapan badai PHK tahun ini tidak akan sebesar 2023. Namun, bila PHK bulan lalu hanya tren sesaat, sangat mungkin jumlah pekerja yang terpaksa jadi pengangguran baru tahun ini bisa melampaui tahun lalu. Padahal total jumlah PHK pada 2023 sudah menjadi yang terbesar sejak 2021.
(rui)