"Fenomena ini seperti kisah Perang Uhud, di mana kaum Muslimin beramai-ramai turun dari bukit Uhud untuk berebut ghonimah [harta pampasan perang], dan meninggalkan tugas pokok pos penjagaan. Ujung-ujungnya umat tidak terurus," jelas Mulyanto dalam siaran pers, dikutip Rabu (31/7/2024).
Mulyanto menjelaskan setelah badan usaha Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pesat (PP) Muhammadiyah, kini badan usaha Ormas Persatuan Islam (Persis) menyatakan ingin mengelola tambang. Bahkan, kata Mulyanto, MUI tengah mengkaji untuk ikut memanfaatkan peluang ini.
Mulyanto menilai kondisi ini sangat rawan karena berpotensi menimbulkan kecemburuan di antara ormas.
Menurutnya, ormas pemuda dan lainnya berpotensi akan ikut meminta konsesi tambang. Oleh karena itu, Mulyanto meminta pemerintah dan pimpinan ormas mengkaji ulang kebijakan ini.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo resmi mengalihkan kewenangan penetapan, penawaran dan pemberian WIUPK untuk ormas keagamaan kepada Bahlil.
Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi.
Pasal 5B ayat 1 beleid tersebut menjelaskan bahwa menteri pembina sektor mendelegasikan wewenang penetapan, penawaran dan pemberian WIUPK kepada Bahlil yang juga merupakan Ketua Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Pembina sektor adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dan/atau Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Berdasarkan WIUPK, ketua Satuan Tugas [Bahlil] melakukan penetapan, penawaran dan pemberian WIUPK kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan,” sebagaimana dikutip melalui Pasal 5B Ayat 2 beleid tersebut, dikutip Selasa (23/7/2024).
(wep)