Namun, sebagian besar lembaga internasional tersebut memberikan catatan dan menyoroti kebijakan fiskal Indonesia di masa mendatang. Sebab, kepastian akan program-program pemerintahan baru masih menjadi pertanyaan.
Berikut daftar peringkat Indonesia dari sisi ekonomi, investasi, saham hingga kondisi utang yang diberikan oleh lembaga pemeringkat internasional:
Fitch Rating
Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings mengganjar Indonesia dengan peringkat utang BBB dan prospek stabil, tidak berubah dari pemeringkatan pada periode sebelumnya.
Meski mempertahankan penilaiannya, Fitch Ratings memberi peringatan terhadap beberapa hal yang layak diperhatikan. Salah satunya, berakhirnya kenaikan signifikan harga komoditas (commodity boom) global yang diperkirakan berdampak cukup besar bagi prospek pendapatan Indonesia ke depan.
Fitch memperkirakan, rasio pendapatan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) akan turun menjadi 14,6% pada 2024 dari sebesar 15% pada 2023. Itu merupakan level terendah untuk negara dengan kategori 'BBB' dan jauh di bawah median di angka 21,3%.
"Namun, kami perkirakan penurunan harga komoditas akan berdampak lebih besar sehingga rasio bunga/pendapatan yang kami proyeksikan sebesar 14,8% pada 2024, jauh lebih tinggi dibanding median kategori 'BBB' sebesar 8,7%," jelas Fitch Ratings dalam pernyataan resminya.
Selain penurunan pendapatan akibat berakhirnya pesta harga komoditas, Fitch juga memberi catatan bahwa Indonesia dinilai masih menghadapi risiko ketidakpastian fiskal dalam jangka pendek.
Fitch bahkan menyoroti program makan siang dan susu gratis di sekolah yang disebutkan oleh Tim Prabowo dapat menelan biaya 2% dari PDB per tahun.
"Kami yakin risiko fiskal jangka menengah telah meningkat karena rencana fiskal pemerintah berikutnya masih belum pasti dengan beberapa janji kampanye tampaknya memerlukan biaya besar," kata Fitch.
Fitch juga menyoroti keyakinan Prabowo untuk membuat pertumbuhan ekonomi RI bisa mencapai 8%. Menurut Fitch, para kandidat presiden termasuk Prabowo juga menganjurkan kenaikan yang signifikan dalam pendapatan negara dan PDB. Fitch menyebut bahwa hal tersebut kemungkinan memerlukan waktu untuk direalisasikan.
Moody's Ratings
Lembaga Pemeringkat Moody’s kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia pada peringkat Baa2, dengan prospek stabil pada 16 April 2024.
Peringkat tersebut diberi oleh Moodys karena pihaknya menilai ekonomi RI tetap kuat dan berkelanjutan yang didukung oleh sumber daya alam yang melimpang, demografi yang kuat, sehingga pada akhirnya mendukung pertumbuhan PDB yang stabil dan kuat.
“Hal ini juga didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati dan berfokus pada disiplin dan memastikan stabilitas makroekonomi,” tulis Moody's Ratings dalam keterangan resminya.
Moody's memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024-2025 akan berada pada rata-rata 5,%, yang menurutnya masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain yang berada pada peringkat Baa yakni pertumbuhannya hanya sekitar 3%.
Sementara itu, Moody’s memandang bahwa daya tahan sektor eksternal RI tetap terjaga tercermin dari surplus neraca perdagangan yang meningkat dan keberlanjutan hilirisasi juga menjadi salah satu faktor penting.
Meski demikian, Moody’s juga memberikan beberapa catatan kepada pemerintah, faktor-faktor apa saja yang dapat membuat peringkat RI merosot. Salah satunya, potensi pelebaran fiskal akibat program-program baru yang tidak disertai reformasi pendapatan.
“Kebijakan fiskal ekspansif tanpa disertai reformasi pendapatan, atau kemunduran pada reformasi pengeluaran,” katanya.
Kedua, memburuknya posisi eksternal akibat depresiasi mata uang yang berkepanjangan atau arus modal asing yang keluar. “Ini yang berdampak pada keterjangkauan utang dan kecukupan cadangan devisa,” tulis Moodys.
Selain itu, adanya potensi perlambatan pertumbuhan yang berkepanjangan dan memiliki dampak pada ekonomi serta fiskal yang luas.
Japan Credit Rating Agency
Lembaga Pemeringkat Japan Credit Rating Agency, Ltd. (JCR) mempertahankan peringkat kelayakan kredit (Sovereign Credit Rating) Indonesia pada level BBB+ (Investment Grade) dengan prospek stabil pada 22 Maret 2024.
JCR memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 mencapai 5%, yang didukung oleh konsumsi swasta dan investasi. Menurut JCR, implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dikatakan mampu meningkatkan penanaman modal asing, termasuk untuk pembangunan infrastruktur dan Ibu Kota Nusantara.
Dari sisi fiskal, JCR menilai kredibilitas kebijakan fiskal terjaga, tercermin pada defisit fiskal yang berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022, yang didukung oleh implementasi reformasi perpajakan dan realisasi belanja pemerintah. Selanjutnya pada 2023, defisit fiskal turun pada kisaran 1,66% dan masih bertahan di bawah 3% untuk 2024.
Sedangkan dari sisi eksternal, JCR melihat Indonesia memiliki daya tahan ekonomi yang tetap terjaga terhadap gejolak eksternal, didukung oleh level cadangan devisa yang setara dengan 6,5 bulan impor.
Selain itu, JCR juga menilai penilaian modal asing terus meningkat yang didukung oleh perbaikan iklim investasi, serta kinerja transaksi berjalan dalam menghadapi tantangan dari penurunan harga komoditas.
Namun JCR menegaskan bahwa tetap memonitor kebijakan ekonomi dan fiskal pemerintahan baru, yang akan dilantik pada Oktober 2024 mendatang.
“Masa jabatan Presiden Joko Widodo akan berakhir pada Oktober 2024 dan Menteri Pertahanan saat ini, Prabowo, mengambil alih jabatan presiden. JCR akan memonitor dengan seksama kebijakan ekonomi dan fiskal pemerintahan baru. Berdasarkan hal tersebut di atas, JCR telah menegaskan peringkat dengan outlook Stabil,” tulis JCR dalam keterangan resminya.
Morgan Stanley
Morgan Stanley menurunkan peringkat ekuitas Indonesia menjadi underweight. Penurunan peringkat ini lantaran lembaga keuangan tersebut melihat adanya risiko berinvestasi, terutama saham, di Indonesia.
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (12/6/2024), tim strategi, termasuk Daniel Blake, melihat adanya ketidakpastian jangka pendek mengenai arah kebijakan fiskal di masa depan serta beberapa pelemahan di pasar valas di tengah-tengah suku bunga AS yang masih tinggi dan prospek dollar AS yang menguat.
Janji-janji kampanye Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto - seperti proposal untuk penyediaan makan siang dan susu untuk siswa - juga dapat menimbulkan “beban fiskal yang substansial”.
Pada bagian lain prospek pendapatan Indonesia juga memburuk, tulis mereka.
Perubahan sikap Morgan Stanley ini terjadi ketika indeks dollar mulai bergerak naik menjelang keputusan suku bunga Federal Reserve dan keputusan Bank Indonesia pada Juni lalu .
HSBC
Lembaga keuangan asing kembali menurunkan atau downgrade prospek bursa saham RI. Usai Morgan Stanley, giliran HSBC Holdings Plc yang melakukan langkah serupa.
Dilansir dari Bloomberg, Rabu (26/6/2024), HSBC menurunkan rating bursa saham RI dari overweight menjadi neutral.
Salah satu pertimbangannya, emiten domestik diprediksi akan terpukul oleh depresiasi rupiah ditambah dengan suku bunga yang tinggi.
Pada saat yang bersamaan, ketidakpastian kebijakan muncul imbas dari transisi pemerintah yang ke depan akan dipimpin oleh Prabowo Subianto.
Standard and Poors
S&P memberi penegasan atau afirmasi terhadap peringkat utang Indonesia. Peringkat utang obligasi valas Indonesia masih berada di BBB. Sementara outlook Indonesia masih bertahan di level stabil.
"Kami memperkirakan defisit anggaran akan mendekati 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dalam 2-3 tahun mendatang. Pengembangan industri pengolahan komoditas akan membantu menstabilkan neraca eksternal," tulis keterangan S&P.
Namun, S&P turut menyoroti rencana fiskal pemerintahan baru yang menimbulkan ketidakpastian kebijakan. Mengutip laporan berbagai media, S&P menyebut pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto sempat membicarakan rasio utang pemerintah naik menjadi 50% dari PDB.
Meskipun kenaikan tersebut masih dibawah batas rasio utang yakni 60% dari PDB, namun S&P menyebut bahwa hal tersebut bisa dinilai bahwa pemerintahan baru akan menerapkan defisit fiskal di atas batas 3% dari PDB. Namun, hal tersebut dibantah oleh pejabat yang dekat dengan Presiden Terpilih.
“Terlepas dari jaminan-jaminan ini, ketidakpastian kebijakan kemungkinan akan tetap ada sampai pemerintahan berikutnya mengumumkan rencana secara rinci,” tulis S&P dalam keterangan resminya.
Meski demikian, S&P menilai pemerintahan baru telah mengindikasikan tidak akan merubah aturan perundang-undangan mengenai batas fiskal sebesar 3% dari PDB.
Sehingga, dengan rencana pengeluaran dan program-program prioritas yang telah dicanangkan maka S&P menilai bahwa pemerintahan baru akan menargetkan besaran defisit mendekati batas 3% dari PDB.
“Kami memperkirakan defisit fiskal dalam tiga tahun ke depan akan lebih tinggi dibandingkan defisit anggaran di tahun 2022-2024,“ tulis S&P dalam keterangan resminya.
(azr/lav)