Logo Bloomberg Technoz

Bahkan, menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, total investasi ekosistem baterai EV terintegrasi Hyundai dan LG ini mencapai US$9,8 miliar atau Rp142 triliun, angka ini belum termasuk pabrik EV milik Hyundai.

Investasi tersebut berupa pertambangan senilai US$850 juta, pengolahan/pemurnian senilai US$4 miliar, prekursor/katoda senilai US$1,8 miliar, dan sel baterai US$3,2 miliar.

Untuk itu, meskipun survei global menunjukkan banyaknya pengguna yang ingin kembali ke BBM, Juan meyakini fenomena tersebut tidak akan menimbulkan guncangan besar di pengembangan industri EV di dalam negeri.

"Bagaimana pun juga BBM akan jadi fungsi yang lain, jadi menurut saya enggak akan ada guncangan yang [akan membuat] banyak perubahan. Itu bisa mengalir kepada industri kendaraan otomotif yang orangnya memang suka dengan teknis khusus [pada kendarannya]," sambungnya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa sebelumnya memproyeksikan penjualan EV di Indonesia bisa mencapai kisaran 30.000—35.000 unit pada 2024.

Proyeksi ini dilandasi oleh perhitungan makin banyaknya tipe EV yang masuk ke pasar Indonesia hingga kuartal II-2024. Selain itu, harga dari EV baru tersebut juga berada pada rentang Rp300 juta—Rp400 juta yang sesuai dengan daya beli konsumen Indonesia. 

“Pengurangan PPN [pajak pertambahan nilai] jadi 1% juga jadi daya tarik buat orang yang akan membeli mobil,” ujar Fabby.

Selain itu, dia menilai kesadaran konsumen Indonesia tentang EV juga lebih baik. Terlebih, persepsi EV sebagai barang baru juga memantik keinginan konsumen untuk mencoba membeli. 

Adapun, penjualan mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) secara nasional pada semester I-2024 menunjukkan adanya peningkatan secara pesat dibandingkan dengan tahun lalu. 

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik secara wholesales atau dari pabrikan ke dealer di Tanah Air pada Januari—Juni 2024 mencapai 11.940 unit, meroket lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan rentang yang sama tahun lalu. 

Khusus periode Juni 2024, penjualan mobil listrik mencapai 2.211 unit, naik 11,5% secara bulanan atau month to month (mtm) dan 83,48% secara tahunan atau year on year (yoy). 

Pengunjung melihat mobil yang dipamerkan dalam ajang GIIAS 2024 di ICE BSD, Sabtu (27/7/2024). (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

Preferensi Konsumen

Pada perkembangan lain, akademisi sekaligus pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, sebenarnya sama halnya dengan banyak pembeli mobil listrik di negara-negara maju, konsumen di Tanah Air juga banyak yang berpandangan harga EV masih terlalu mahal, ditambah dengan adanya kekhawatiran soal kekuatan jarak tempuh.

"Namun, terdapat juga perbedaan signifikan. [...] Di Indonesia, EV seringkali dianggap sebagai simbol status sosial dan gaya hidup modern. Pembeli dari segmen menengah-atas cenderung memilih EV karena memiliki desain yang lebih futuristik dan menarik daripada mobil konvensional, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang ingin tampil beda,” ujarnya.

Dengan kata lain, bila motivasi konsumen EV di Barat adalah karena kesadaran lingkungan dan keinginan untuk mengurangi emisi karbon; konsumen di Indonesia lebih melihatnya sebagai penunjang gaya hidup dan status sosial.

Di sisi lain, jika pemerintah di banyak negara Barat memberikan insentif EV dengan fokus untuk aspek lingkungan dan penurunan emisi, pemerintah di Indonesia memberikan stimulus kendaraan listrik dengan tujuan untuk mendorong industri otomotif nasional.

Untuk diketahui, riset McKinsey & Company berjudul McKinsey Mobility Consumer Pulse edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29% pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis BBM.

Survei McKinsey melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara. Survei ini mencakup lebih dari 80% penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang menjawab ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia dengan 49%, disusul oleh Amerika Serikat (46%), dan Brasil (38%).

Alasan tertinggi bagi mereka yang ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35%). Lainnya adalah biaya perawatan yang mahal (34%) dan kesulitan berkendara dalam jarak jauh (32%).

"Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil," sebut riset McKinsey.

Bahkan, pada survei yang dilakukan BloombergNEF, terungkap bahwa pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29%, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angkat 21%.

Adapun, beberapa faktor yang dinilai memberatkan laju adopsi EV di banyak negara yakni; perhitungan keuangan untuk memiliki EV menjadi tidak lagi seimbang akibat pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurang banyak model dengan harga yang relatif terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan yang tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.

(prc/wdh)

No more pages