Logo Bloomberg Technoz

Namun, Agung mengatakan untuk saat ini terdapat tantangan dalam proses daur ulang karena ketersediaan bahan baku berupa baterai bekas masih terlalu sedikit, yakni baru 600 ton per tahun. 

Sebaliknya, kapasitas industri di Indonedia membutuhkan setidaknya 10.000 baterai bekas untuk diolah.

Hal ini terjadi karena baterai yang digunakan untuk daur ulang masih berasal dari telepon seluler dan laptop, sementara baterai EV masih tergolong baru dan belum bisa diuraikan.

Dengan demikian, jumlah bahan baku tersebut belum bisa digunakan untuk kapasitas industri daur ulang baterai. 

Proses daur ulang Redwood untuk baterai mobil listrik per kg.

Menurut Agung, hal-hal yang harus diperhatikan pemerintah untuk meningkatkan industri daur ulang baterai ini di Indonesia adalah berpihak terhadap pemain lokal.

“[Pemerintah] harus support riset dan pengembangan, mereka harus investasi juga di orang-orangnya, dan juga ada kebijakan seperti misalnya larangan untuk ekspor baterai bekas keluar. Selama baterai bekas diekspor, Indonesia kurang juga baterainya,” ujar Agung.

Agung menggarisbawahi baterai bekas pakai tersebut bisa menghasilkan mineral berharga dan banyak diminati, seperti misalnya untuk industri di China yang memiliki kapasitas untuk melakukan daur ulang tersebut. 

Keuntungan

Adapun, keuntungan dari daur ulang baterai bekas di Indonesia, kata Agung, adalah mendapatkan mineral seperti litium, nikel dan kobalt tanpa melalui proses pertambangan. 

 “Indonesia kan tidak punya cadangan litium, kalau bisa mengolah baterai, jadinya bagus banget ya. Dalam semua baterai itu sumber litium paling gede di Indonesia adalah baterai yang sudah bekas. Kalau mengolah dalam negeri, berarti neraca massa nikel, kobalt, dan litium tetap ada di Indonesia,” ujarnya.

(dov/wdh)

No more pages