Pemodelan cuaca dan iklim adalah upaya keras bagi semua orang, mulai dari ahli meteorologi TV lokal hingga ilmuwan iklim dalam menyelidiki seberapa besar manusia dapat memanaskan dunia.
Model iklim saat ini adalah fisika yang ditampilkan dalam sebuah format perangkat software, dengan bagian-bagian utama dari sistem Bumi bekerja bersama-sama: atmosfer, lautan, daratan, dan es.
Model-model ini dapat menangkap sistem iklim dan cuaca berskala besar dengan lebih percaya diri daripada fenomena lokal. Awan, curah hujan, dan tornado terjadi dalam skala yang sangat kecil sehingga persamaan umum tidak dapat menggambarkannya.
Para ilmuwan biasanya memperkirakan hal ini dari data dunia nyata, dan memprogramnya ke dalam model sebagai “parameter.”
Model eksperimental, NeuralGCM, bergantung pada model sirkulasi umum (general circulation models/GCM) yang ada untuk mensimulasikan fisika dalam skala besar. NeuralGCM menggunakan pendekatan machine-learning, yang disebut jaringan saraf, untuk memperkirakan fitur skala yang lebih kecil.
“Karena itu, kami dapat membangun model yang jauh lebih stabil dan memberikan hasil jauh lebih dapat diandalkan ketika Anda menjalankannya untuk jangka waktu yang lebih lama di masa depan, bahkan hingga bertahun-tahun atau puluhan tahun,” kata Hoyer.
R. Saravanan, seorang profesor ilmu atmosfer di Texas A&M University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menyebutnya sebagai “kemajuan penting dalam pemodelan atmosfer dan prediksi cuaca jangka panjang, tetapi belum tentu merupakan lompatan besar dalam prediksi iklim.”
Model hybrid memiliki keterbatasan. Model ini hanya menghitung kenaikan suhu di atmosfer, bukan di lautan, di daratan, atau di es. Model konvensional mampu mensimulasikan semua elemen utama sistem Bumi. Pendekatan baru ini juga tidak memungkinkan para peneliti untuk memvariasikan tingkat gas rumah kaca di atmosfer, yang merupakan fungsi utama model iklim modern. Para peneliti menggunakan suhu permukaan laut, bukan emisi, sebagai pemicu perubahan atmosfer.
Saravanan mengatakan bahwa penelitian ini mungkin akan sangat berguna dalam memprediksi cuaca pada skala sub-musiman dan musiman. Jika pendekatan ini dapat diperluas hingga lautan, maka akan sangat berguna bagi para peneliti yang mempelajari pola cuaca El Nino dan La Nina, kata dia.
Para peneliti sedang mengembangkan fitur di NeuralGCM yang menghasilkan proyeksi badai satu tahun ke depan, yang, jika terbukti bermanfaat, dapat membantu orang mempersiapkan diri menghadapi badai dan membangun infrastruktur adaptasi, tutur Hoyer.
Model machine learning atmosfer jauh lebih cepat dan membutuhkan daya komputasi lebih kecil daripada model standar. Salah satunya, GraphCast, yang juga dikembangkan oleh Google Alphabet Inc, memiliki 5.417 baris kode, dibandingkan dengan 376.578 baris kode untuk model pemerintah AS. Mengenai Neural GCM, Hoyer mengatakan, “Anda dapat menjalankannya di laptop.”
Namun demikian machine learning bukanlah pengganti fisika. Bahwa seorang ilmuwan iklim memperingatkan tentang hasil penelitian baru ini.
“Tidak ada jalan yang bisa membawa Anda ke masa depan iklim tanpa model iklim yang ada saat ini,” kata Gavin Schmidt, direktur Goddard Institute for Space Studies NASA.
Para ilmuwan biasanya memperkirakan jumlah pemanasan global yang kemungkinan berasal dari polusi gas rumah kaca sebagai suatu kisaran, dimana mampu mencerminkan sifat iklim tak tentu. Sama halnya dengan prediksi cuaca, ketika ahli meteorologi mengatakan bahwa, misalnya, ada 40% kemungkinan hujan. Model berbasis fisika mampu mengasah kekacauan tersebut dan membatasi bagaimana dunia dapat merespons suhu yang lebih tinggi.
Namun model AI, karena tidak secara langsung menghitung fisika, tidak memiliki cara untuk menangkap ketidakjelasan yang melekat dan tidak dapat dihindari dalam prediksi, kata Schmidt.
Kemajuan paling jelas dari model baru ini mungkin adalah simulasi iklim yang hanya menggunakan machine learning. “Sekilas, NeuralGCM terdengar seperti kemajuan besar dalam pemodelan berbasis machine learning murni. Sebenarnya, yang terjadi justru sebaliknya - makalah ini menyoroti keterbatasan pendekatan berbasis machine learning murni,” kata Saravanan.
Proyek ini merupakan bagian dari dorongan AI Google yang lebih besar, dan para penulis mencatat bahwa pendekatan fisika hybrid-AI mereka dapat mendukung upaya lain dalam ilmu material, pelipatan protein, dan rekayasa. AI sudah memberikan dampak lain di Google: Komputasi AI yang intensif daya mendorong emisi gas rumah kaca hingga 48% dalam lima tahun.
(bbn)